
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina ke Indonesia, langkah ini diambil menjelang kunjungan kenegaraannya ke beberapa negara Timur Tengah seperti Turki, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, dan Mesir. Melalui inisiatif ini, Prabowo diharapkan dapat meminta dukungan politik dari negara-negara Islam yang dia kunjungi.
Hilmy Bakar Almascaty, pengamat Timur Tengah dari lembaga kajian Sabang Merauke Circle, memberikan apresiasi terhadap langkah tersebut, menilai bahwa tindakan Prabowo ini merupakan langkah revolusioner dalam menangani isu krisis kemanusiaan Palestina. Ia mengaitkan langkah ini dengan tindakan serupa yang dilakukan Dato Sri Anwar Ibrahim pada tahun 1980-an, ketika mengirim mujahidin dari Nusantara ke Afghanistan untuk melawan invasi Uni Soviet.
Hilmy menyatakan, “Ini adalah langkah besar dan berani. Indonesia sebagai negara Islam terbesar memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam isu Palestina ke depan. Dengan pengalaman dan kepemimpinan Prabowo, hal ini dapat membawa Indonesia ke posisi yang lebih signifikan di kancah internasional.”
Lebih lanjut, Hilmy menekankan peran Indonesia dalam diplomasi internasional, terutama dalam memberikan dukungan kepada negara-negara Islam lain. Menurutnya, keberanian Prabowo dalam mengambil sikap tegas terhadap isu Palestina menunjukkan Indonesia dapat berkontribusi aktif dalam penyelesaian konflik yang telah berlangsung lama tersebut. Ia pun mempertanyakan kritik terhadap langkah Prabowo, dengan menyebut bahwa ada yang kurang memahami dinamika dunia Islam.
Sementara itu, Teguh Santosa, pengamat politik global dari GREAT Institute, juga menilai positif kunjungan Prabowo ke Timur Tengah. Ia melihat kunjungan tersebut sebagai respons strategis terhadap tekanan politik dan ekonomi dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat, khususnya di era kepemimpinan yang dipimpin oleh Donald Trump. Teguh berpendapat bahwa setiap negara harus mampu menjalin hubungan dengan aktor internasional lain tanpa menimbulkan ketergantungan.
“Tindakan Presiden Prabowo dalam membangun komunikasi intens dengan negara-negara lain menunjang upaya Indonesia untuk menjadi tetangga yang baik secara global. Kita harus mengutamakan prinsip ‘the absence of dependency’ agar dapat menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Hal ini sesuai dengan amanat pendiri bangsa kita,” ujarnya.
Dalam konteks kebijakan luar negeri, Teguh menyebut bahwa hubungan yang seimbang dengan negara lain akan memungkinkan Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan kemampuan ekonomi. “Dengan demikian, melalui kunjungan ini, Prabowo tidak hanya berupaya mengatasi kesulitan yang dihadapi akibat kebijakan Trump, tetapi juga menjaga stabilitas dan kemandirian ekonomi Indonesia melalui kerja sama internasional,” tambahnya.
Prabowo juga berusaha untuk menguatkan narasi positif mengenai Indonesia dalam konteks geopolitik global, di mana negara ini dapat berperan sebagai mediator dalam konflik dan membantu Palestina. Rencana evakuasi ini diharapkan tidak hanya memberikan dukungan kemanusiaan, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap isu global.
Prabowo, dalam intruksinya, menegaskan pentingnya kepemimpinan Indonesia dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan perdamaian dunia. Ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab lebih dalam menjawab tantangan tersebut.
Situasi ini menjadi gambaran dari langkah strategis Prabowo dalam menyikapi kebijakan luar negeri yang sarat dengan ketegangan dan tantangan di kawasan, yang tak lepas dari pengaruh besar yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Islam, Prabowo tidak hanya memperkuat posisi Indonesia, tetapi juga memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina dan dunia Islam.