Iran baru-baru ini menegaskan bahwa kekhawatiran Amerika Serikat mengenai pengembangan senjata nuklir oleh Teheran tidak perlu dibesar-besarkan dan dapat diselesaikan melalui dialog. Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Rabu (5 Februari 2025), menyatakan bahwa Iran secara tegas menolak pemilikan senjata pemusnah massal dan berkomitmen untuk mematuhi perjanjian internasional yang terkait dengan non-proliferasi nuklir.
“Jika kekhawatiran utama adalah Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir, maka ini adalah hal yang bisa dicapai dan bukan masalah yang rumit,” ungkap Araghchi. Dia juga menjelaskan bahwa Iran adalah anggota Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, dan Pemimpin Tertinggi Iran telah mengeluarkan fatwa yang jelas menentang senjata pemusnah massal.
Pernyataan Iran muncul setelah serangkaian langkah agresif yang diambil oleh Presiden AS, Donald Trump, dalam kampanye “tekanan maksimum” terhadap Teheran. Strategi ini bertujuan untuk menghentikan ekspor minyak Iran hingga nol, dengan harapan mencegah negara tersebut mengembangkan senjata nuklir. Tindakan ini merupakan lanjutan dari kebijakan kontroversial Trump yang menarik AS keluar dari perjanjian nuklir Iran pada 2018. Sebagai bagian dari kesepakatan itu, sanksi internasional dicabut sebagai imbalan atas pembatasan program nuklir Iran.
Berdasarkan laporan terbaru dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran telah meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen kemurnian, mendekati level 90 persen yang diperlukan untuk senjata nuklir. Meskipun ada klaim tersebut, Iran tetap bersikeras bahwa aktivitas nuklirnya sepenuhnya damai dan berada dalam koridor perjanjian internasional.
Dalam konteks ketegangan yang semakin meningkat ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan penolakan terhadap tuduhan bahwa Teheran terlibat dalam upaya membunuh pejabat AS. Ia menilai tuduhan tersebut sebagai “rekayasa pihak-pihak yang menginginkan perang,” sembari menegaskan bahwa Iran terus mencari jalur hukum untuk menuntut keadilan atas pembunuhan pejabat senior mereka, seperti Komandan Pasukan Quds, Qassem Soleimani, yang tewas dalam serangan udara AS pada 2020.
Ketegangan antara Iran dan AS kian memuncak, terutama setelah peringatan yang dikeluarkan oleh Trump, yang menyatakan bahwa Iran akan “dihancurkan” jika berani menyerang aset atau personel Amerika. Hal ini menambah kompleksitas dalam hubungan yang telah lama tegang, di mana kebijakan nuklir dan sanksi ekonomi menjadi dua isu utama yang kerap menjadi perdebatan.
Iran juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan isu nuklir melalui dialog dengan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian nuklir sebelumnya. Dalam pandangan Teheran, pendekatan dialog harus mengedepankan transparansi dan saling pengertian untuk meredakan ketegangan yang ada. Pihak Iran berharap dunia dapat melihat komitmen mereka terhadap non-proliferasi dan tidak terpengaruh oleh narasi yang tidak akurat mengenai program nuklirnya.
Dalam menghadapi situasi yang kompleks ini, masyarakat internasional diharapkan dapat berperan aktif dalam mendorong penyelesaian yang damai, serta menghindari langkah-langkah militer yang dapat memicu konflik lebih lanjut. Ketegangan yang berlarut-larut antara Iran dan AS tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak luas di kawasan Timur Tengah dan dunia internasional.