
Teheran, Iran – Dalam pernyataan terbaru yang mencuat selama negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat, Iran menegaskan bahwa mereka siap memberikan jaminan untuk tidak menggunakan program nuklirnya sebagai senjata, dengan imbalan keringanan sanksi yang diberlakukan oleh Washington. Diplomat tinggi Iran, Sayid Abbas Araghchi, mengungkapkan komitmen tersebut saat memimpin delegasi dalam pembicaraan tidak langsung dengan utusan AS, Steve Witkoff, di Muscat, Oman pada 12 April 2025.
Pertemuan ini menandai keterlibatan diplomatik pertama antara kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, dengan fokus utama pada program nuklir Iran dan kemungkinan pelonggaran sanksi AS. Araghchi menekankan bahwa Iran menginginkan kesepakatan yang saling menguntungkan tetapi secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan membongkar program nuklirnya di bawah kondisi apapun.
“Setiap langkah yang diambil oleh Iran akan bertujuan untuk memberikan kepastian bahwa kegiatan nuklir tidak akan diarahkan untuk militer,” kata Araghchi. Salah satu langkah yang mungkin diambil oleh Iran adalah memberikan akses kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk mengawasi situs-situs nuklirnya. Langkah ini dinilai penting untuk meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan.
Di sisi lain, Iran juga menuntut pencabutan sanksi yang diberlakukan AS pada beberapa sektor tanpa kemungkinan sanksi tersebut akan diterapkan kembali dengan alasan lain. Menurut informasi dari Tehran Times, Witkoff mengakui bahwa pihak AS memang harus memberikan konsesi dalam perundingan ini. Namun, dalam pembicaraan tersebut, tidak ada penyebutan terkait penghapusan program nuklir Iran, dan Witkoff tidak merujuk pada Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang ditandatangani pada 2015 dan dibatalkan oleh Presiden Donald Trump pada 2018.
Selama wawancara dengan Fox News, Witkoff menegaskan bahwa pembicaraan mendatang akan lebih banyak membahas dua poin kunci: verifikasi pengayaan uranium serta verifikasi terkait senjata, termasuk sistem rudal yang dimiliki Iran. Hal ini menunjukkan bahwa AS masih menganggap penting pengawasan terhadap kemampuan militer Iran, meskipun Iran dengan tegas menolak negosiasi terkait program militernya. Juru bicara Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Ali Mohammad Naini, menjelaskan bahwa isu keamanan dan kekuatan militer merupakan garis merah bagi negara tersebut yang tidak dapat dinegosiasikan.
Dalam konteks ini, putaran pembicaraan selanjutnya antara Iran dan AS diperkirakan akan dilaksanakan pada tanggal 19 April mendatang, di mana diharapkan berbagai isu yang ada dapat diselesaikan demi kepentingan kedua negara. Peluang untuk mencapai kesepakatan tergantung pada kemauan dari kedua belah pihak untuk berkompromi, terutama berkaitan dengan kekhawatiran AS terhadap aktivitas nuklir Iran dan tuntutan Iran untuk pemulihan hubungan yang lebih baik melalui penghapusan sanksi.
Dengan dinamika yang terus berkembang dalam negosiasi ini, dunia mengawasi dengan cermat bagaimana Iran dan AS dapat menavigasi tantangan yang ada, mengingat dampak yang lebih luas pada stabilitas di Timur Tengah serta hubungan internasional yang lebih luas. Upaya untuk menemukan jalan keluar dari ketegangan ini tidak hanya penting bagi kedua negara, tetapi juga bagi negara-negara lain yang terpengaruh oleh kebijakan dan keputusan terkait program nuklir Iran.