
Israel memblokir akses truk bantuan kemanusiaan ke Gaza pada Minggu (2/3/2025) waktu setempat, di tengah meningkatnya ketegangan akibat kebuntuan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Langkah ini mengundang perhatian dunia dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai alasan di balik penutupan akses bantuan vital ke wilayah yang sudah mengalami krisis kemanusiaan yang parah.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengungkap bahwa keputusan tersebut terjadi setelah perundingan gencatan senjata yang difasilitasi oleh mediator Mesir dan Qatar menghadapi kebuntuan. Israel baru-baru ini mengadopsi proposal utusan Presiden AS, Steve Witkoff, untuk gencatan senjata sementara selama bulan Ramadan dan Paskah, yang bertujuan menghentikan pertempuran. Namun, rencana ini terhambat oleh ketidakpastian dalam negosiasi antara kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, Hamas, sebagai aktor utama yang berkonflik dengan Israel, berusaha untuk melanjutkan proses perdamaian, tetapi juga menolak langkah-langkah yang dianggapnya sebagai pemaksaan. Juru bicara Hamas, Hazem Qassem, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen pada gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya, tetapi menolak perpanjangan tahap pertama yang diusulkan oleh Israel. “Kami tidak akan mengizinkan gencatan senjata tanpa persetujuan dan kesepakatan yang adil,” ungkap Qassem.
Masyarakat internasional menyaksikan situasi ini dengan cermat. Data dari pejabat kesehatan setempat menunjukkan bahwa meski gencatan senjata sempat ada, insiden kekerasan tetap terjadi. Tembakan Israel yang dilaporkan baru-baru ini menewaskan empat warga Palestina dalam serangkaian serangan terpisah di Jalur Gaza utara dan selatan. Hal ini semakin menambah ketegangan yang sudah ada.
Perundingan sebelumnya antara Israel dan Hamas menunjukkan bahwa kelompok bersenjata ini telah menyerahkan 33 sandera Israel dan lima warga Thailand, sebagai bagian dari proses pertukaran yang kompleks. Sebagai imbalan, Israel diharapkan untuk membebaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina dan menarik pasukannya dari beberapa posisi di Gaza. Namun, perundingan tentang fase kedua dari gencatan senjata yang akan mencakup pembebasan 59 sandera tersisa dan penarikan penuh pasukan Israel ternyata tidak pernah dimulai.
Menghadapi permasalahan yang semakin rumit, perwakilan kantor Perdana Menteri Israel menekankan bahwa “Israel tidak akan mengizinkan gencatan senjata tanpa pembebasan sandera kami.” Pernyataan ini menunjukkan komitmen Israel yang kuat untuk memastikan keselamatan warganya, sementara pada saat yang sama menambah beban bagi masyarakat Gaza yang sudah menderita akibat blokade dan serangan selama bertahun-tahun.
Adanya blokir akses bantuan kemanusiaan ini menggarisbawahi satu titik penting: ketika konflik politik berlanjut, masyarakat sipil terus menjadi korban yang paling terpuruk. Keterbatasan dalam akses bantuan bukan hanya menambah derita, tetapi juga memperparah krisis yang ada. Mencermati kompleksitas situasi ini, banyak pengamat berpendapat bahwa solusi politik yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan dan stabilitas yang berkelanjutan di kawasan tersebut.
Para pengamat dan organisasi hak asasi manusia mendesak semua pihak untuk menghentikan tindakan yang dapat memperburuk situasi kemanusiaan. “Saat ini, tindakan pemblokiran terhadap bantuan kemanusiaan adalah pelanggaran hukum internasional yang tidak dapat dibenarkan,” tegas salah satu perwakilan dari lembaga bantuan internasional.
Ke depan, penting bagi para pemimpin di Israel dan Hamas untuk kembali ke meja perundingan dan menemukan cara untuk mendukung gencatan senjata yang bermakna, di mana semua pihak dapat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan, serta hak asasi manusia. Dengan begitu, diharapkan akses bantuan kemanusiaan dapat dipulihkan, demi kebaikan bersama bagi warga Gaza yang terjebak dalam kancah konflik yang berkepanjangan ini.