
Infanteri Israel melakukan serangan ke Jalur Gaza yang berujung pada penghancuran Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina, satu-satunya rumah sakit kanker di wilayah tersebut. Serangan ini dilakukan dengan menggunakan bahan peledak dan diumumkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Jumat, 21 Maret 2025. IDF menyatakan bahwa mereka terpaksa mengambil tindakan ini karena rumah sakit tersebut diduga digunakan oleh Hamas untuk kepentingan militer. Namun, klaim tersebut dipertanyakan oleh kepala departemen onkologi rumah sakit, Dr. Zaki al-Zaqzouq, yang menegaskan bahwa fasilitas tersebut masih beroperasi di beberapa departemen.
Dr. al-Zaqzouq mengungkapkan kekecewaannya dan mempertanyakan logika di balik penghancuran rumah sakit yang telah menjadi sumber kehidupan bagi banyak pasien. “Saya tidak mengerti apa manfaat yang mereka peroleh dengan menghancurkan rumah sakit yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak pasien,” ujarnya. Penghancuran ini juga menciptakan perdebatan luas mengenai pelanggaran hukum internasional terkait perlindungan fasilitas kesehatan dalam situasi konflik.
Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina bukan hanya sekadar rumah sakit, tetapi juga simbol harapan bagi banyak pasien kanker di Gaza. Berdiri sebagai inisiatif dari Turki, rumah sakit ini mendapatkan dukungan penuh dalam penyediaan layanan medis yang vital bagi warga Palestina yang menderita penyakit kanker. Namun, pada pernyataan terpisah, kementerian luar negeri Turki mengecam aksi penyerangan ini dan menyebutnya sebagai upaya Israel untuk menjadikan Gaza tidak dapat dihuni, memaksa warganya untuk terusir dari rumah mereka.
Sejak dimulainya kembali serangan militer Israel, situasi di Gaza semakin memburuk dengan total korban jiwa yang dilaporkan sekitar 600 orang. Dalam perkembangan terkini, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa operasional militer akan terus ditingkatkan hingga Hamas melepaskan 59 sandera yang masih ditahan. “Semakin lama Hamas menolak membebaskan sandera, semakin banyak wilayah yang akan hilang,” imbuh Katz.
Penghancuran Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina melibatkan berbagai pertimbangan hukum internasional. Menurut hukum tersebut, rumah sakit dapat kehilangan perlindungannya jika terbukti digunakan untuk kepentingan militer. Namun, tindakan terhadap fasilitas kesehatan harus dilakukan secara proporsional dan tidak merugikan warga sipil. Berbagai kelompok hak asasi manusia, serta para pakar yang didukung oleh PBB, telah mengkritik Israel karena secara sistematis menghancurkan infrastruktur kesehatan di Jalur Gaza.
Krisis kemanusiaan di Gaza kini semakin memperburuk kehidupan warga sipil yang sudah berada di bawah tekanan berkepanjangan akibat blokade. Israel juga telah melakukan pemblokiran terhadap pasokan makanan, bahan bakar, dan bantuan kemanusiaan ke wilayah itu sebagai bentuk strategi untuk menekan Hamas agar bersedia bernegoisasi. Tindakan ini dengan jelas berdampak pada kesehatan dan keselamatan ribuan warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita, yang sangat membutuhkan perawatan medis.
Dengan latar belakang yang kian memanas, penghancuran rumah sakit kanker ini menjadi simbol dari kompleksitas konflik yang lebih luas antara Israel dan Hamas. Sejumlah pihak internasional, termasuk organisasi kemanusiaan, menyoroti perlunya perlindungan bagi fasilitas medis dalam situasi perang. Pesan ini menjadi semakin mendesak di tengah meningkatnya kekhawatiran akan nasib warga sipil yang terjebak dalam pergolakan ini.