Israel terus meningkatkan provokasi terhadap Hizbullah dan pemerintah Lebanon, dengan serangan terbaru yang menargetkan kota selatan Lebanon, Nabatieh. Tindakan ini terjadi di tengah ketegangan yang terus meningkat di kawasan, terutama setelah pemerintah Lebanon setuju untuk memperpanjang gencatan senjata hingga 18 Februari. Kegiatan militer Israel, yang mencakup serangan udara dan peningkatan kehadiran pesawat nirawak di wilayah Beirut, menunjukkan niatnya untuk meningkatkan tekanan pada Lebanon dan Hizbullah.
Serangan terhadap Nabatieh adalah bagian dari agenda Israel yang lebih luas untuk menduduki dan mengontrol wilayah-wilayah yang dianggap strategis di dekat perbatasan. Dalam beberapa pekan terakhir, Israel tidak hanya melakukan penyerangan, tetapi juga melakukan pembongkaran rumah dan infrastruktur di desa-desa yang masih berada di bawah kendalinya. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mempersulit kembalinya warga sipil ke daerah tersebut.
Meskipun tekanan ini meningkat, Hizbullah tetap mengambil posisi defensif. Para analis terhadap dinamika ini menunjukkan bahwa kelompok bersenjata tersebut tampaknya terjebak di antara kebutuhan untuk merespons provokasi Israel dan keterbatasan kapasitasnya untuk terlibat dalam konflik baru. Sikap bungkam Hizbullah terkait serangan Israel dapat dihubungkan dengan kekhawatiran akan potensi gelombang pengungsian serta kehancuran yang lebih luas di Lebanon.
Menurut Brigjen pensiunan Georges Nader, eskalasi dari pihak Israel dapat dilihat sebagai “pesan ganda” bagi Hizbullah dan militer Lebanon bahwa mereka bersiap untuk melakukan intervensi militer jika syarat gencatan senjata tidak dihormati. “Meskipun Israel sendiri tidak pernah mematuhi perjanjian, mereka menegaskan bahwa mereka siap bertindak kapan saja,” ungkap Nader kepada Asharq Al-Awsat. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam di antara para pemimpin keamanan Lebanon mengenai kemungkinan tindakan Israel yang lebih agresif.
Berita terbaru juga mengindikasikan bahwa penyerangan oleh Israel dirancang sebagai respons langsung terhadap insiden di mana penduduk yang mengungsi bersikeras untuk kembali ke rumah mereka. “Israel mengubah desa-desa ini menjadi tanah hangus, sehingga tidak dapat dihuni meskipun akhirnya mereka mundur,” tambah Nader, menunjukkan bahwa strategi penghancuran ini bertujuan untuk mencegah pemulihan komunitas yang telah hancur.
Militer Lebanon telah melanjutkan pengerahan pasukan di selatan Sungai Litani, mencoba menegakkan resolusi PBB 1701 yang bertujuan untuk menjaga ketenteraman di wilayah tersebut. Dalam prosesnya, mereka melaporkan bahwa pasukan Israel telah menembaki tentara dan warga sipil serta melancarkan dua serangan udara di Nabatieh. Meskipun dalam tekanan, militer Lebanon berusaha untuk memberikan bantuan kepada penduduk yang terperangkap dalam situasi yang sulit ini.
Tak hanya itu, kelompok pemantau internasional dan Komite Quintet yang menjaga gencatan senjata turut terlibat dalam upaya untuk menetralisir situasi. Namun, serangan yang terus-menerus dan provokasi Israel membuat kerja sama dan koordinasi ini semakin sulit. Sejumlah langkah keamanan diambil untuk melindungi penduduk di daerah perbatasan, tetapi ancaman berkelanjutan dari Israel mengharuskan kekuatan keamanan Lebanon untuk terus waspada.
Dalam konteks yang lebih luas, ketegangan yang meningkat ini mencerminkan konflik yang lebih kompleks di kawasan Timur Tengah, di mana pertempuran antara pihak-pihak yang bertikai sering kali melibatkan dampak regional yang signifikan. Dalam situasi yang tidak pasti ini, baik Hizbullah maupun milter Lebanon dihadapkan pada tantangan berat dalam merespons provokasi Israel, sembari memperhatikan potensi konsekuensi bagi stabilitas Lebanon dan akar konflik yang lebih dalam.