Julia Sebutinde, Penjabat Presiden Mahkamah Internasional, Dituduh Menjiplak Isu Israel-Palestina

TUDUHAN serius muncul terhadap Julia Sebutinde, penjabat presiden Mahkamah Internasional (ICJ), terkait dengan pendapat berbedanya mengenai konflik Israel-Palestina. Beberapa pihak menyebut bahwa Sebutinde menjiplak isi dari pendapatnya yang ditulis pada 19 Juli lalu. Tuduhan ini berawal dari adanya sebuah penelitian yang disusun oleh Majd Abuamer, seorang peneliti Palestina di Institut Doha, yang menemukan bahwa hampir satu per tiga isi pendapat berbedanya merupakan hasil jiplakan.

Studi ini, yang dipublikasikan oleh Middle East Eye, mencatat bahwa setidaknya 32% dari pendapat Sebutinde dianggap tidak orisinal. Penelitian ini akan disertakan dalam buku yang akan datang karya Norman Finkelstein, yang dijadwalkan terbit pada bulan Juni mendatang. Dalam konteks tuduhan tersebut, diskusi tentang pelanggaran hukum internasional oleh Israel terhadap Palestina menjadi semakin menonjol.

Pada bulan Juli lalu, Sebutinde, yang merupakan bagian dari panel yang terdiri dari 15 hakim, menyatakan pendapat berbeda terkait klaim bahwa pendudukan Israel selama puluhan tahun melanggar hukum. Sebutinde menolak kesimpulan ini, mengundang perhatian pada pendapatnya yang kini menjadi subyek penyelidikan terkait plagiarisme. Ketika dihubungi untuk memberikan tanggapan, Sebutinde memilih untuk tidak mengomentari tuduhan tersebut.

Kecenderungan plagiarisme ini tidak hanya terlihat dalam pernyataan Sebutinde terkait Israel dan Palestina, tetapi juga dalam struktur kalimat dan referensi yang digunakannya. Finkelstein, yang pertama kali meragukan keaslian pendapat Sebutinde, menyebutkan bahwa tuduhan plagiarisme ini sangat serius dan mencemari integritasnya sebagai hakim. Ia mengatakan, “Dia (Sebutinde) menunjukkan bahwa penulisan argumennya kelihatan aneh dan kemungkinan besar diambil dari sumber lain.”

Beberapa kalimat yang kembali diambil Sebutinde bahkan berasal dari video oleh aktivis konservatif David Brog. Salah satu kalimatnya berbicara tentang usulan pembagian wilayah Palestina pada tahun 1937, yang secara mencolok menyalin pernyataan Brog tentang hal yang sama tanpa mencantumkan sumbernya. Hal ini menjadi catatan penting, mengingat latar belakang politik dan polemik yang menyertai konflik ini.

Bukan hanya dari sumber yang pro-Israel, penyelidikan Abuamer juga menunjukkan, ada kalimat yang terambil dari Wikipedia dan BBC. Ini menunjukkan bahwa Sebutinde tidak hanya menjiplak dari satu perspektif, tetapi merangkum penjilatan dari beragam sumber, tanpa memberikan atribusi yang layak. Salah satu kutipan yang diambilnya dari BBC juga menunjukkan ketidakakuratan dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pendudukan dan konflik yang berkepanjangan.

Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa Sebutinde mengutip dari pengajuan resmi yang diajukan ke pengadilan, termasuk argumen dari Fiji, tetapi tidak menyebutkan sumber-sumber tersebut. Ahli hukum yang dikonsultasikan mengenai masalah ini menjelaskan bahwa meskipun pengambilan dari dokumen hukum tidak selalu dianggap plagiarisme, transparansi mengenai asal usul informasi sangat penting dalam konteks hukum.

Poin penting lain yang diangkat Finkelstein adalah bagaimana celah dalam sistem hukum internasional ini sering kali dimanfaatkan untuk mengabaikan narasi yang lebih kompleks mengenai konflik Israel-Palestina. Dia menyatakan bahwa banyak individu berbakat yang berasal dari Gaza, yang seharusnya dapat berkontribusi positif, malah terpinggirkan akibat situasi ini.

Situasi yang dihadapi Julia Sebutinde dapat berimplikasi luas terhadap kredibilitas Mahkamah Internasional. Dalam konteks ini, penting untuk memantau perkembangan selanjutnya terkait tuduhan ini, mengingat pengaruhnya terhadap diskusi internasional mengenai hukum dan keadilan di wilayah yang menjadi pusat konflik.

Exit mobile version