Menjelang bulan suci Ramadan 1446 H, umat Islam di Indonesia kembali dihadapkan pada pertanyaan penting: kapan tepatnya 1 Ramadan ditetapkan? Dalam hal ini, dua organisasi besar umat Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), memiliki cara berbeda dalam menentukan awal bulan puasa.
Muhammadiyah, melalui keputusan resmi yang diumumkan oleh PP Muhammadiyah, telah menetapkan bahwa 1 Ramadan 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Penetapan ini diambil berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal, yang mengedepankan penghitungan astronomis untuk menentukan posisi bulan. Menurut Edy Kuscahyanto, Ketua Biro Komunikasi PP Muhammadiyah, ijtimak akhir bulan Sya’ban 1446 H terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 00:44 GMT. Dengan asumsi bahwa hilal kemungkinan sudah terlihat pada Jumat sore, awal Ramadan diharapkan dimulai pada hari berikutnya, yaitu 1 Maret 2025.
Berikut adalah ringkasan mengenai penetapan awal Ramadan berdasarkan Muhammadiyah:
– 1 Ramadan 1446 H: Sabtu, 1 Maret 2025
– Idul Fitri 1446 H: Minggu, 30 Maret 2025
Keputusan ini menunjukkan bahwa Ramadan tahun ini akan berlangsung selama 29 hari sesuai dengan perhitungan kalender yang telah ditentukan.
Di sisi lain, Nahdlatul Ulama memiliki pendekatan yang berbeda dalam penetapan awal Ramadan. NU umumnya menunggu keputusan pemerintah yang menggunakan metode rukyat, yaitu pengamatan hilal yang dipadukan dengan hisab. Sidang isbat yang diadakan pada 29 Sya’ban oleh pemerintah melibatkan berbagai organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah dan NU.
Dalam situasi ini, penetapan awal Ramadan oleh NU tergantung pada apakah hilal terlihat atau tidak. Jika hilal terlihat pada Jumat, 28 Februari 2025, maka NU akan bersepakat dengan Muhammadiyah, dan Ramadan dimulai pada 1 Maret 2025. Namun, jika hilal tidak terlihat, awal Ramadan akan dimulai sehari setelahnya, yaitu pada Minggu, 2 Maret 2025. Proses inilah yang sering menyebabkan perbedaan antara Muhammadiyah dan NU.
Mempertimbangkan kemungkinan adanya perbedaan ini, banyak masyarakat menantikan keputusan dari sidang isbat yang diadakan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan awal Ramadan antara Muhammadiyah dan NU bukanlah hal baru di kalangan umat Islam. Muhammadiyah lebih konsisten dengan metode hisab, sedangkan NU memadukan metode rukyat dengan hisab.
Meskipun ada cara yang berbeda dalam menentukan awal Ramadan, baik Muhammadiyah maupun NU memiliki landasan metodologi yang kokoh serta sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, penting bagi umat untuk mengikuti keputusan organisasi atau pemerintah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perbedaan awal Ramadan ini sebenarnya tidak perlu menjadi penghalang bagi persatuan umat Islam. Dalam menjalankan ibadah puasa, umat diimbau untuk saling menghormati perbedaan yang ada dan menjaga ukhuwah Islamiyah. Keberagaman dalam cara menentukan awal puasa seharusnya menjadi momen untuk memperkuat kebersamaan.
Menjelang 1 Ramadan 1446 H, umat Islam diharapkan tetap berpegang pada nilai-nilai toleransi dan saling menghormati, terlepas dari perbedaan yang mungkin terjadi antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dengan memahami dan menghargai perbedaan ini, umat bisa menjalankan ibadah puasa dengan penuh kedamaian dan kebersamaan, menyambut bulan suci dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih.