
Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tidak hanya menggegerkan dunia perdagangan, tetapi juga memicu perdebatan sengit di kalangan ahli ekonomi. Ekonom Senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menilai bahwa kebijakan proteksionis ini telah melampaui batasan teori ekonomi dan beralih ke ranah politik. Dalam penjelasannya, Didik menyatakan, “Teori ekonomi sudah tidak berlaku. Sekarang yang menentukan arah ekonomi adalah politik,” mengindikasikan bahwa dampak kebijakan ini jauh lebih besar dari sekadar angka-angka ekonomi.
Sejarah pemikiran ekonomi mengacu pada kondisi di mana pemerintah, individu, dan pasar beroperasi dalam keseimbangan untuk menciptakan kesejahteraan. Namun, menurut Didik, sistem tersebut kini sedang terancam karena keputusan sepihak yang dibuat oleh negara adidaya ini tidak lagi mempertimbangkan prinsip-prinsip ekonomi dasar. “Seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan dunia yang didasarkan pada asas dan hukum ekonomi sudah dengan sendirinya roboh dan ambruk karena politik,” tuturnya.
Salah satu dampak signifikan dari kebijakan tarif AS adalah potensi penurunan ekspor Indonesia ke Amerika. Didik memperkirakan, kebijakan ini dapat menekan ekspor Indonesia hingga 30%. Mengingat porsi ekspor ke AS mencapai 11-13% dari total ekspor nasional, efeknya bisa sangat merugikan bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, Didik mendorong pemerintah untuk tidak hanya merespons melalui kebijakan ekonomi, tetapi juga melalui strategi politik. Dia merekomendasikan pembentukan poros alternatif dengan menggandeng negara-negara ASEAN, Asia Timur, India, dan Amerika Latin sebagai mitra dagang baru.
“Ketika ketegangan antara AS dan Tiongkok semakin menunjukkan peningkatan, kita tidak perlu terjebak dalam kutub konfrontasi tersebut. Sebaliknya, penting untuk membentuk poros ketiga yang lebih strategis,” tambahnya. Didik juga melihat karakter diplomasi Presiden Prabowo Subianto mirip dengan semangat Soekarno dalam konteks kerja sama internasional, khususnya saat Konferensi Asia-Afrika.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyuarakan keprihatinan serupa. Ia berpendapat bahwa kebijakan tarif resiprokal AS tidak memiliki dasar ekonomi yang kuat dan lebih bersifat transaksi semata. “Itu adalah purely transactional, tidak ada landasan ilmu ekonominya. Teman-teman ISEI, mohon maaf, tidak berguna pak ilmunya hari-hari ini,” tegasnya dalam sarasehan ekonomi yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia.
Sri Mulyani menambahkan bahwa penetapan tarif oleh AS tampaknya dilakukan secara serampangan untuk menutup defisit perdagangan dengan negara-negara yang disasar oleh Trump. “Yang penting pokoknya tarif duluan. Karena tujuannya adalah menutup defisit, tidak ada ilmu ekonominya di situ,” komentarnya. Situasi ini, lanjutnya, harus dihadapi dengan sikap pragmatis dan cepat dalam mencari solusi.
Sebagai bagian dari kebijakan baru yang berdampak luas, AS menerapkan tarif sebesar 32% kepada Indonesia, seperti yang diumumkan pada 2 April dan akan berlaku pada 9 April. Sementara itu, Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif selama 90 hari, kecuali untuk Tiongkok yang justru diperbesar menjadi 125%.
Dampak dari kebijakan Trump ini tidak hanya sekadar angka-angka statistik, tetapi juga mengubah lanskap ekonomi global. Para ekonom sepakat bahwa perubahan kebijakan proteksionis mendorong negara-negara untuk mencari strategi baru dalam berpartisipasi dalam perdagangan internasional, sembari mempertahankan stabilitas ekonomi domestik. Hal ini menandakan bahwa hubungan internasional kini semakin dipengaruhi oleh kekuatan politik, yang dapat mengguncang pondasi teori ekonomi yang telah dikembangkan selama berabad-abad.