Keluarga Kepala BGN Dadan Hindayana: Kelinci Percobaan Makan Serangga Gratis!

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, baru-baru ini menuai kritik tajam dari netizen menyusul usulannya untuk memasukkan serangga seperti belalang dan ulat sagu ke dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang untuk memberikan makanan bergizi kepada masyarakat, terutama anak-anak. Namun, saran kontroversial Dadan agar serangga dijadikan menu mendapatkan reaksi negatif, terutama di media sosial X.

Sejumlah netizen merespons dengan sarkasme, meminta agar Dadan dan keluarganya bisa menjadi “kelinci percobaan” untuk memakan serangga gratis tersebut. Seorang pengguna dengan nama akun @DidiOppo71 berkomentar, “Sudah lah pak, kalau kebijakan makan gratis tidak ada dana, batalkan aja. Masa siswa sekolah di kasih makan serangga, keluarga bapak aja yang jadi kelinci percobaan.” Komentar tersebut menggambarkan frustrasi publik terkait kebijakan yang dianggap tidak realistis.

Hal serupa juga diungkapkan oleh akun @Ridwanhusa15, yang bertanya, “Coba aja dulu makan serangga-nya biar di live kan agar menjadi contoh buat makan gizi gratis… Aneh.” Langkah Dadan dinilai oleh banyak pihak sebagai satu keputusan yang tidak peka terhadap kebutuhan gizi anak-anak, terutama di daerah yang tidak terbiasa mengonsumsi serangga.

Dadan di sisi lain menanggapi bahwa serangga, terutama di daerah tertentu, memang bisa dijadikan sumber protein. Ia menjelaskan, “Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein.” Namun, banyak netizen yang merasa cara ini seharusnya tidak dipaksakan kepada daerah yang tidak mengenal tradisi tersebut.

Salah satu kritik datang dari pengguna akun @dp_koesmi, yang mengingatkan bahwa potensi makan serangga tidak bisa diterapkan secara universal. “Menjadi makanan gratis bergizi di daerah tersebut. Jadi, karena pejabatnya bukan dari daerah tersebut, lauknya bukan serangga? Jangan gitu, Pak,” tulisnya. Ia menekankan perlunya konsistensi dalam kebijakan gizi yang mencerminkan budaya dan kebiasaan lokal.

Kritik tidak hanya datang dari cara penyajian menu, tetapi juga dari sisi anggaran. Pengguna bernama @ArmanA76 mempertanyakan, “Emang dana buat makan gizi gratis di kemanain, sampai-sampai mau dikasih makan serangga?” Pertanyaan ini menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap alokasi dana dalam program ini dan efektivitasnya di lapangan.

Sebagai penjelasan, Dadan menjelaskan bahwa BGN tidak menetapkan standar menu nasional, melainkan lebih fokus kepada komposisi gizi. “Sumber protein tergantung pada potensi sumber daya lokal di suatu daerah,” katanya. Dia menambahkan bahwa kebiasaan makanan regional seperti telur, ikan, atau karbohidrat akan bervariasi tergantung pada ketersediaannya di daerah tersebut.

Dalam konteks ini, berbagai elemen dalam masyarakat, terutama anak-anak yang menjadi sasaran program, tetap butuh perhatian serius dari pemerintah dalam penyediaan makanan yang tidak hanya bergizi tetapi juga sesuai dengan selera dan kebiasaan lokal. Dadan Hindayana dan BGN diharapkan dapat lebih mempertimbangkan keberagaman budaya dan kebutuhan nutrisi masyarakat dalam kebijakan yang diambil.

Dengan makin banyaknya kritik yang muncul, fokus kepada keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis menjadi semakin mendesak, terutama agar tidak hanya memenuhi aspek kesehatan tetapi juga tetap relevan serta diterima oleh masyarakat. Diskusi ini mengingatkan semua pihak tentang pentingnya komunikasi dan kolaborasi dalam mengimplementasikan program-program yang bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat.

Exit mobile version