Kenapa Albert Einstein Menolak Terbentuknya Israel? Simak Alasannya!

Pada 2 Desember 1948, Albert Einstein bersama sejumlah tokoh intelektual lainnya menandatangani sebuah surat yang diterbitkan di The New York Times. Surat ini berisi kritik tajam terhadap Menachem Begin, seorang pemimpin Zionis yang dianggap dapat mengancam nilai-nilai demokrasi. Dalam surat tersebut, Einstein menyebut Begin sebagai figur dengan pendekatan “fasis” dalam usaha mendirikan negara Israel. Namun, ketidaksetujuan Einstein atas pembentukan negara Israel bersifat lebih kompleks daripada sekadar kritik terhadap sosok Begin.

Skeptisisme Einstein terhadap gagasan pembentukan Israel bermula dari pandangannya yang lebih luas tentang nasionalisme. Dalam bukunya berjudul Einstein on Politics: His Private Thoughts and Public Stands on Nationalism, Zionism, War, Peace, and the Bomb, Einstein mengemukakan bahwa nasionalisme adalah “penyakit anak-anak” yang menghambat perdamaian. Ia mendukung gagasan bahwa tanah air Yahudi seharusnya difokuskan pada pengembangan pusat budaya dan intelektual, bukan sebagai sebuah negara dengan batas teritorial. Dalam suratnya kepada Chaim Weizmann pada 1938, ia memperingatkan bahwa pembentukan negara rayah dengan kekuatan militer hanya akan menambah permusuhan dengan tetangga Arab.

Seiring meningkatnya ketegangan menjelang pembentukan negara Israel pada 14 Mei 1948, Einstein menyuarakan keprihatinannya. Dalam sebuah pidato beberapa hari setelah deklarasi, ia menegaskan, “Ini adalah momen besar bagi banyak orang, tetapi saya khawatir jalan yang dipilih tidak akan membawa perdamaian yang kita harapkan.” Ungkapan ini menunjukkan skeptisisme Einstein terhadap nasionalisme sempit yang berpeluang membesar-besarkan konflik di kawasan tersebut.

Einstein juga menegaskan penolakannya terhadap penggunaan kekerasan sebagai sarana mencapai tujuan politik Zionis. Dalam ceramahnya di Universitas Princeton pada 1939, ia berujar, “Kita tidak bisa membangun masa depan dengan merusak masa lalu bangsa lain.” Pandangan ini menjadi semakin kuat setelah insiden pembantaian Deir Yassin pada 9 April 1948, di mana ratusan warga Arab dibunuh oleh kelompok militan Yahudi. Einstein mengutuk kekejaman tersebut, menggambarkannya sebagai “tragedi yang tidak bisa dimaafkan” dalam surat-suratnya kepada media Amerika.

Visi Einstein mengenai masa depan Palestina berfokus pada kerja sama antara Yahudi dan Arab, di mana keduanya bisa hidup berdampingan dengan hak-hak yang setara. Dalam surat kepada Mahatma Gandhi pada 1931, ia menyatakan bahwa “kolaborasi antara Yahudi dan Arab adalah kunci bagi perdamaian abadi di Timur Tengah.” Meski demikian, ia menyadari bahwa impian tersebut semakin sulit diwujudkan di tengah meningkatnya ketegangan politik dan agama.

Kendati Einstein dihormati di kalangan Zionis, terutama untuk sumbangannya dalam penggalangan dana bagi Universitas Ibrani di Yerusalem, pandangannya yang kritis membuatnya menjadi sosok kontroversial. Ketika ditawari menjabat sebagai presiden kedua Israel oleh David Ben-Gurion pada 1952, Einstein menolak dengan alasan bahwa politik bukanlah bidangnya. Namun, surat-surat pribadinya menunjukkan bahwa penolakannya juga dipicu oleh skeptisisme terhadap arah politik Israel yang kian menegangkan.

Walaupun Albert Einstein meninggal pada 18 April 1955, pemikirannya mengenai Israel dan konflik Timur Tengah tetap relevan di era modern. Dalam pidato terakhirnya di Amerika Serikat pada 1954, ia menekankan pentingnya menempatkan perdamaian di atas semua kepentingan nasional, menegaskan satu prinsip: “Hanya melalui perdamaian kita bisa mencapai keadilan yang sejati.” Pandangan kritis Einstein menyoroti kerumitan hubungan antara ideologi Zionis dan nilai-nilai universal yang ia anut sepanjang hayatnya, menciptakan warisan pemikiran yang tetap menggugah hingga kini.

Exit mobile version