Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, baru-baru ini menyampaikan pandangannya terkait rencana menjadikan serangga sebagai menu makan bergizi gratis (MBG) di Indonesia. Ide ini mencuat dan menjadi sorotan publik, terutama karena keberadaan serangga sebagai sumber pangan bergizi tidaklah asing bagi sebagian kalangan, termasuk dalam konteks ajaran agama. Dadan menjelaskan bahwa dalam hadits Nabi Muhammad SAW terdapat pembahasan mengenai makanan yang diperbolehkan, termasuk serangga, yang menjadi salah satu pertimbangan dalam usulan ini.
Dadan mengungkapkan, “Dalam hadits ada penyebutan dua bangkai yang boleh dimakan, yaitu ikan dan belalang. Belalang ini bahkan digunakan oleh Rasulullah ketika berperang sebagai sumber protein.” Pernyataan ini menunjukkan adanya tradisi yang mengakui serangga sebagai bagian dari sumber nutrisi yang dapat dikonsumsi.
Makanan berbasis serangga dipandang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Dadan, yang juga merupakan seorang ahli serangga, mengatakan bahwa selama ini ia telah mengkaji komposisi gizi pada belalang, salah satu jenis serangga yang potensial dijadikan makanan. “Serangga memiliki protein yang tinggi, dan juga mengandung kalsium dan mineral lainnya,” tambahnya. Dengan demikian, mengonsumi serangga sebagai sumber protein dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Tentu saja, ide ini tidak lepas dari konteks keberagaman budaya masyarakat Indonesia, yang kaya akan tradisi dan kebiasaan dalam hal konsumsi bahan pangan. Dadan menekankan pentingnya mempertimbangkan potensi sumber daya lokal serta kesukaan masyarakat terkait bahan makanan. Ia menjelaskan, “Komposisi gizi itu sebaiknya berbasis potensi sumber daya lokal dan kesukaan masyarakat lokal.”
Sebagai contoh, ia menyebutkan kalau di daerah yang lebih banyak memiliki sumber daya telur, maka telur akan lebih banyak digunakan sebagai sumber protein. Sementara di daerah pesisir di Indonesia Timur, ikan menjadi pilihan utama dalam pola konsumsi protein masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih inklusif terhadap kebiasaan makan yang ada, yang bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Salah satu aspek menarik dari pernyataan Dadan adalah pengakuan terhadap keberadaan serangga sebagai makanan tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Ia mencatat bahwa di beberapa wilayah, masyarakat sudah lama mengonsumsi serangga seperti belalang dan ular sagu, dan hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. “Di daerah yang masyarakatnya sudah terbiasa makan serangga, contohnya belalang dan ular sagu, itu bisa dipertimbangkan menjadi sumber protein,” ujarnya.
Berita tentang serangga menjadi menu makan bergizi gratis ini mengundang berbagai reaksi di masyarakat. Sebagian pihak mendukung gagasan ini sebagai upaya diversifikasi sumber pangan dan memperkenalkan makanan bergizi yang lebih berkelanjutan. Di sisi lain, ada juga yang skeptis dan mempertanyakan penerimaan masyarakat terhadap serangga sebagai makanan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dan pakar gizi mendukung upaya untuk meningkatkan edukasi mengenai manfaat gizi dari serangga serta cara pengolahannya yang aman dan higienis. Edukasi ini penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi serangga sebagai sumber protein alternatif di tengah terbatasnya sumber pangan konvensional.
Pemanfaatan serangga sebagai bagian dari pola makan masyarakat bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Sekitar 2 miliyar orang di dunia telah terbiasa mengonsumsi serangga sebagai panganan sehari-hari. BGN menekankan pentingnya menjadikan pendekatan ini sesuai dengan nilai-nilai budaya dan kesehatan masyarakat, agar keberadaannya dapat diterima dengan baik.
Dengan pendekatan berbasis pada potensi lokal dan kebiasaan masyarakat, diharapkan rencana menjadikan serangga sebagai menu makan bergizi gratis di Indonesia dapat berjalan efektif dan memberikan dampak positif bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.