
Arkeolog yang melakukan penggalian di Yerusalem baru-baru ini menemukan sebuah kerangka manusia yang dirantai, yang diduga menunjukkan praktik ritual penyiksaan mengerikan pada masa lalu. Penemuan ini mengungkap identitas kerangka tersebut sebagai seorang wanita dari época Bizantium, yang diyakini sebagai seorang biarawati yang menjalani kehidupan asketis ekstrem.
Kerangka ini berasal dari abad kelima Masehi, dan para peneliti mendapati bahwa wanita ini terlibat dalam ritual penyiksaan diri sebagai bagian dari ajaran asketisme. Ajaran ini mendorong pengikutnya untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan material demi mencapai keselamatan spiritual. Dalam tradisi asketisme, penderitaan fisik dipandang sebagai cara untuk memurnikan jiwa dan mencapai kesempurnaan spiritual.
Ajaran asketisme yang dianut wanita ini mencakup beberapa aspek, antara lain:
Asketisme Natural: Dalam paham ini, individu membatasi gaya hidupnya untuk mencapai tujuan spiritual tanpa melukai tubuhnya. Mereka bisa menjalani hidup sederhana tanpa berlebihan.
- Asketisme Non-Natural: Berlawanan dengan asketisme natural, paham ini lebih ekstrem dan melibatkan tindakan menyakiti diri sendiri. Pada masa ini, asketisme menyebar di Eropa dan Timur Tengah jauh sebelum agama Kristen memiliki pengaruh yang signifikan.
Wanita-wanita kaya pada waktu itu berusaha menyeimbangkan gaya hidup mewah mereka dengan praktik asketisme, yang sering kali dilakukan melalui cara-cara seperti puasa panjang, mengikat tubuh mereka dengan tali, hingga mengurung diri di tempat yang terpencil.
Kerangka biarawati ini ditemukan di dalam sebuah makam di bawah altar gereja dan terikat dengan 12 hingga 14 cincin pada lengan dan telapak tangannya, serta memiliki ikatan di bagian leher dan kaki. Penemuan ini menunjukkan bahwa jenazah tersebut tak hanya mengalami penyiksaan psikologis, tetapi juga fisik, mengingat bahwa pelat logam juga ditemukan terpasang di area perutnya, menjadikan kerangka tersebut seolah-olah dibelenggu oleh baja.
Penelitian lebih lanjut dilakukan untuk mengidentifikasi jenis kelamin dari kerangka tersebut, yang sempat menyulitkan para ilmuwan. Namun, senyuman hadir ketika para peneliti menggunakan protein dari enamel gigi untuk memastikan bahwa kerangka yang ditemukan adalah seorang perempuan. Ini menjadikan penemuan ini sebagai bukti tertulis pertama mengenai penyiksaan diri yang dipraktikkan oleh biarawati di wilayah Bizantium, yang selama ini lebih dikenal dengan dominasi pria dalam tradisi asketis.
Kekaisaran Bizantium, yang berlanjut setelah kekuasaan Romawi, dikenal sebagai kota Konstantinopel atau Roma Baru. Pada masa kejayaannya, Bizantium adalah pusat budaya dan agama Kristen dan tempat asal para biarawati yang menjalani kehidupan penuh pengabdian. Wanita di era ini berkontribusi dalam berbagai bidang, mulai dari peran dalam pelayanan kesehatan hingga pendidikan, dan banyak biara pada waktu itu berfungsi sebagai lembaga yang menangani berbagai aspek kehidupan sosial.
Pentingnya penemuan ini tidak hanya terletak pada aspek arkeologi, namun juga memberikan pandangan lebih mendalam mengenai praktik asketisme pada masa lalu. Menyusul penelitian ini, para ahli bertekad untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang kehidupan biarawan dan biarawati, serta mekanisme spiritual yang mendorong mereka untuk menerapkan praktik-praktik ekstrem yang terkadang melibatkan penyiksaan diri.
Asketisme tetap menjadi tema yang relevan dalam banyak tradisi keagamaan, termasuk dalam konteks kehidupan modern. Masyarakat kini diingatkan akan pentingnya keseimbangan antara pencarian spiritual dan kesejahteraan fisik. Penemuan ini menjadi pengingat untuk memahami kompleksitas ajaran dan praktik spiritual yang telah berkembang dalam sejarah umat manusia.