Beberapa waktu lalu, Kholid Miqdar, seorang nelayan dari Desa Singarajan di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten, menjadi perbincangan hangat di media sosial akibat pernyataannya mengenai keberadaan pagar laut misterius di perairan Tangerang. Dalam video yang viral, Kholid mengekspresikan kecamannya terhadap siapa pun yang terlibat dalam pembangunan pagar tersebut, yang diduga dilakukan oleh pengembang bermodal besar. Pernyataan Kholid disampaikan dengan penuh keyakinan dan dianggap sebagai perwakilan suara masyarakat kecil yang terpinggirkan.
Dalam forum diskusi yang dikenal sebagai Indonesia Lawyers Club (ILC), Kholid berani menyuarakan ketidakpuasannya terhadap tindakan yang dianggapnya sebagai keserakahan. “Kan udah saya bilang selain Tuhan yang Maha Esa, semua kekuasaan yang ada di muka bumi ini lenyap, punah,” tuturnya, menegaskan keyakinan bahwa harta dan kekuasaan duniawi tidak ada artinya. Ia menilai keberadaan pagar laut tersebut mencerminkan kerakusan yang merugikan nelayan kecil seperti dirinya.
Kholid menjelaskan bahwa sikapnya bukan tanpa risiko. Dengan berani, ia mengungkapkan ketidaktakutannya terhadap penguasa yang terlibat dalam proyek tersebut. “Takut sama siapa? Ujung-ujungnya kan mati. Lah, mati bagi saya itu telur netes, pindah di alam yang lebih luas sehingga saya lebih merdeka, tidak terkungkung oleh jasad,” ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan pandangan Kholid tentang kematian sebagai sebuah proses transisi yang memberikan kebebasan, bukan akhir dari segalanya.
Pernyataan Kholid tidak hanya berisi kritik, tetapi juga aspirasi yang dalam terhadap keadilan sosial dan lingkungan. Dalam suasana yang semakin tidak pasti, di mana hak-hak nelayan sering kali terabaikan untuk kepentingan pengembangan infrastruktur, suara Kholid diterima baik oleh netizen. Beragam komentar positif muncul di media sosial, di mana banyak yang mengagumi keberanian dan pengetahuan Kholid dalam mengungkapkan ketidakadilan yang dialaminya.
Dalam wawancara, Kholid menegaskan lagi motivasinya. Ia merasa tergerak untuk melawan praktik yang dianggapnya tidak adil dan merusak lingkungan. “Harta, ketenaran, kehebatan, kesaktian, kekuasaan, apa saja selain dari Allah, punah. Itulah yang saya hadapi,” tegasnya. Pagar laut tersebut, dalam pandangannya, bukan hanya sekadar objek fisik, melainkan simbol dari masalah yang lebih besar terkait dengan eksploitasi sumber daya laut dan marginalisasi komunitas nelayan.
Respon publik juga mencerminkan betapa kuatnya resonansi pesan Kholid. Banyak netizen mengakui pengetahuannya yang mumpuni, bahkan membandingkannya dengan pejabat publik. “Lebih berilmu dibanding pejabat sekalipun,” tulis salah satu netizen. Kholid muncul sebagai sosok yang menyatukan harapan masyarakat kecil, sekaligus menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang sudah sekian lama terjadi.
Di tengah keresahan masyarakat, fenomena pagar laut di Tangerang merefleksikan konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Kholid, dengan berani mempertaruhkan opini pribadinya, mengingatkan publik akan pentingnya melindungi hak-hak nelayan serta kelestarian laut.
Kasus ini memberi gambaran yang jelas tentang bagaimana suara masyarakat kecil dapat menjadi kekuatan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kholid Miqdar tidak hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga seluruh komunitas nelayan yang merasakan dampak dari keserakahan dan ketidakadilan yang terjadi di perairan mereka. Dengan keberaniannya, ia memberikan harapan bagi banyak orang untuk terus melawan demi kehidupan yang lebih baik.