
Para kimiawan dari Universitas Stanford baru-baru ini mengembangkan metode inovatif dan berbiaya rendah untuk secara permanen menghilangkan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Penemuan ini sangat penting, mengingat CO2 merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Metode yang dikembangkan oleh tim peneliti ini melibatkan proses mengubah mineral umum menjadi bahan yang dapat secara spontan menyerap CO2 dan menyimpannya secara permanen. Menariknya, bahan reaktif ini bisa diproduksi menggunakan kiln konvensional yang selama ini digunakan dalam pembuatan semen. Proses ini memanfaatkan panas tinggi untuk mempercepat reaksi kimia yang mengalibatkan mineral silikat.
Secara alami, mineral silikat berinteraksi dengan air dan CO2 di atmosfer, membentuk ion bikarbonat stabil serta mineral karbonat padat. Namun, proses alami ini bisa memakan waktu yang sangat lama—ratusan hingga ribuan tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 1990-an, ilmu pengetahuan telah berupaya menemukan cara untuk mempercepat proses pelapukan ini.
Salah satu peneliti utama, Yuxuan Chen, menjelaskan, “Kami membayangkan reaksi kimia baru untuk mengaktifkan mineral silikat inert melalui reaksi pertukaran ion yang sederhana. Kami tidak menyangka hasilnya akan sebaik ini.” Dalam laboratoriumnya, Chen dan timnya berhasil mengubah silikat yang lambat pelapukannya menjadi mineral yang reaktif, yang mampu menangkap dan menyimpan karbon dengan lebih cepat.
Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam metode ini:
- Penggunaan Panas: Bahan mineral yang relevan dipanaskan dalam kiln, mirip dengan proses pembuatan semen.
- Pertukaran Ion: Proses pemanasan menyebabkan mineral mengandung magnesium dan ion silikat bertukar ion, menghasilkan magnesium oksida dan kalsium silikat, dua mineral yang sangat reaktif terhadap CO2.
- Karbonasi Spontan: Kalsium silikat dan magnesium oksida bereaksi dengan CO2 dalam air dan membentuk mineral karbonat hanya dalam waktu dua jam. Dengan paparan udara, proses ini berlangsung lebih cepat dibandingkan pelapukan alami.
Potensi dampak dari metode ini sangat besar, terutama dalam skala industri. Salah satu aplikasi yang diuji adalah menambahkan mineral ini ke tanah pertanian. Selain menangkap karbon, mineral ini juga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Kanan juga mengungkapkan bahwa karbon dapat tersimpan di laut saat mineral ini melapuk menjadi bikarbonat.
Meskipun di laboratorium tim Kanan mampu menghasilkan sekitar 15 kilogram bahan reaktif per minggu, tujuan mereka adalah memproduksi jutaan ton magnesium oksida dan kalsium silikat setiap tahun agar bisa berkontribusi secara signifikan terhadap pengurangan CO2. Dengan memanfaatkan desain kiln semen yang ada dan sumber daya mineral yang melimpah, seperti olivin dan serpentin, peneliti percaya mereka dapat mewujudkan produksi massal.
Dari segi sumber daya, setiap tahun terdapat lebih dari 400 juta ton limbah tambang yang mengandung silikat di seluruh dunia, menawarkan potensi sumber bahan baku yang besar. Chen juga menyebutkan bahwa cadangan olivin dan serpentin di Bumi diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 gigaton, cukup untuk menangkap lebih banyak CO2 daripada yang pernah dihasilkan manusia.
Peneliti memperkirakan bahwa setiap ton bahan reaktif yang diproduksi dapat menghilangkan satu ton karbon dioksida dari atmosfer. Mengingat pentingnya pengurangan emisi, Kanan bekerja sama dengan Jonathan Fan dari Stanford untuk mengembangkan kiln berbasis listrik yang lebih ramah lingkungan.
“Jika kita menerapkan pembelajaran dan desain dari industri semen, ada jalur yang jelas dari penemuan laboratorium menuju penghapusan karbon dalam skala yang berarti,” kata Kanan. Melalui inovasi ini, harapan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan memperbaiki kualitas udara global menjadi semakin nyata.