Indonesia

Kisruh Pembelian Gas Melon: Adi Prayitno Tanyakan Pangkalan di Mana?

Minimnya sosialisasi mengenai pangkalan pembelian gas LPG 3 kg atau yang sering disebut gas melon menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Pengamat politik Adi Prayitno menyoroti bahwa banyak warga tidak mengetahui lokasi pangkalan yang menjadi titik pembelian resmi gas melon. Dalam sebuah program yang tayang di Inews TV pada Kamis (6/2/2025), Adi menyatakan bahwa selama ini warga lebih terbiasa membeli gas di warung kelontong terdekat dari tempat tinggal mereka, sehingga usulan untuk menghentikan pembelian di eceran menjadi alasan terjadinya kisruh.

"Ketika ada usulan bahwa membeli tabung gas 3 kg tidak lagi bisa dilakukan di eceran, tentunya hal ini menimbulkan masalah. Sebab, akses untuk mendapatkan tabung gas selama ini adalah melalui para pedagang eceran," jelas Adi. Dia menekankan bahwa banyak orang tidak mengetahui di mana mereka bisa menemukan pangkalan gas, terutama di daerah pedesaan.

Salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat adalah alasan geografis dan waktu yang diperlukan untuk mencapai pangkalan. Adi menggunakan contoh dari kampung halamannya yang harus menempuh perjalanan jauh ke kabupaten untuk membeli gas. "Dari desa saya, untuk menuju pangkalan bisa memakan waktu 3 jam dengan jarak 30 sampai 35 km. Biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp 40.000 hingga Rp 50.000, bisa dikatakan itu dua kali lipat dari harga tabung gas," tegasnya.

Dia juga menyebutkan kenyataan bahwa tidak ada pangkalan gas yang buka sepanjang waktu. "Ketika ada kebutuhan mendesak habis gas di malam hari, sangat sulit untuk menemukan pangkalan yang buka. Sementara pedagang eceran biasanya beroperasi hingga 26 jam sehari," ujarnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan pedagang eceran dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara cepat dan fleksibel, meskipun harganya lebih tinggi.

Di sisi lain, Adi mencatat bahwa upaya untuk menjadikan warung kelontong sebagai pangkalan resmi gas melon menghadapi kendala administrasi yang rumit. Para pedagang kecil seringkali hanya memiliki jumlah tabung gas yang terbatas untuk dijual. "Pedagang eceran biasanya hanya menjual tidak lebih dari 15 tabung gas, dan keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp 40.000. Mereka pasti akan berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk terlibat dalam sistem yang lebih rumit," ungkapnya.

Untuk memberikan panduan yang jelas dan menyeluruh bagi pembaca, berikut adalah beberapa poin penting yang diangkat dalam diskusi ini:

  1. Minimnya Sosialisasi: Banyak warga tidak tahu lokasi pangkalan gas, sehingga kebingungan muncul ketika melakukan pembelian.

  2. Perjalanan yang Jauh: Warga yang tinggal di daerah pedesaan harus menempuh perjalanan yang jauh dan mengeluarkan biaya tambahan untuk mencapai pangkalan gas.

  3. Ketersediaan Pangkalan: Tidak adanya pangkalan yang buka sepanjang waktu membuat warga kesulitan dalam situasi darurat.

  4. Administrasi yang Rumit: Para pedagang warung kelontong merasa keberatan dengan prosedur administrasi untuk menjadi pangkalan resmi.

  5. Peran Pedagang Eceran: Pedagang eceran memberikan kemudahan dan aksesibilitas bagi masyarakat, meskipun harga yang ditawarkan mungkin lebih tinggi dari harga resmi.

Dengan keadaan ini, peningkatan sosialisasi mengenai keberadaan pangkalan gas serta pemahaman terhadap kebutuhan masyarakat menjadi penting. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan yang akan diterapkan agar dapat memudahkan warga dalam mendapatkan gas melon, tanpa mengesampingkan aspek aksesibilitas dan waktu. Terlebih lagi, kebutuhan mendesak akan gas membuat kehadiran pedagang eceran menjadi sangat crucial bagi masyarakat.

Siti Aisyah adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button