Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) baru-baru ini merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa 96 persen konsumen di lima kota besar, termasuk Jakarta, Medan, dan Bali, mendesak pemerintah untuk segera menerapkan label risiko Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang. Survei ini dilakukan antara Oktober hingga Desember 2024, melibatkan 495 responden dari beberapa kota, dan mencerminkan kekhawatiran yang mendalam mengenai kesehatan masyarakat berkaitan dengan paparan BPA.
Ketua KKI, David ML Tobing, menegaskan pentingnya pelabelan ini untuk memberikan transparansi dan perlindungan bagi konsumen. “Tak perlu menunggu sampai 2028, karena BPA adalah ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat,” ungkap David dalam pemaparan riset tersebut. Ia menambahkan bahwa pelabelan adalah langkah sederhana untuk meningkatkan transparansi dan edukasi konsumen.
Hasil survei menunjukkan bahwa 43,4 persen responden tidak mengetahui adanya aturan pelabelan BPA yang telah diterapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, setelah diberikan informasi tentang risiko BPA, mayoritas responden mendesak agar pelabelan diterapkan tanpa masa tenggang selama 4 tahun yang direncanakan.
Regulasi pelabelan BPA ini ditetapkan oleh BPOM pada April 2024 untuk galon polikarbonat, yaitu jenis plastik keras yang umum digunakan untuk air minum dalam kemasan (AMDK). Namun, penerapan aturan ini masih memberikan masa tenggang hingga April 2028. Keputusan tersebut didasarkan pada temuan BPOM dalam dua tahun terakhir yang menunjukkan adanya kontaminasi BPA pada galon bermerek di berbagai wilayah.
Paparan BPA telah terhubung dengan berbagai masalah kesehatan serius, termasuk:
– Gangguan sistem reproduksi
– Penyakit kardiovaskular
– Risiko kanker
– Gangguan tumbuh kembang anak
– Gangguan fungsi ginjal
David juga menyoroti bahwa ratusan penelitian menunjukkan dampak negatif BPA terhadap kesehatan manusia. Bahkan, Uni Eropa telah melarang total penggunaan BPA sebagai zat kontak pangan mulai 1 Januari 2025, menandakan langkah progresif negara-negara lain terhadap pengurangan risiko BPA.
Selain survei, KKI melakukan investigasi di 31 objek usaha, termasuk agen distributor, truk pengangkutan, depot isi ulang, dan rumah tangga. Hasilnya menunjukkan praktik distribusi yang tidak memadai, seperti paparan langsung sinar matahari yang dapat memperparah risiko peluruhan BPA dari kemasan ke air minum. David mengingatkan bahwa informasi keliru yang beredar di media sosial, yang menyatakan bahwa BPA tidak berbahaya, bisa menyesatkan publik.
KKI mendesak pemerintah dan industri AMDK untuk memperkuat edukasi terkait risiko BPA pada galon guna ulang. “Transparansi dan literasi publik adalah kunci untuk melindungi konsumen,” tegasnya. David berharap survei ini dapat menjadi gambaran bagi pemerintah dan masyarakat tentang urgensi mempercepat pelabelan BPA. “Ini bukan hanya soal regulasi, tapi soal melindungi kesehatan konsumen,” tutupnya.
Pentingnya segera menerapkan pelabelan BPA akan berdampak signifikan terhadap perlindungan kesehatan masyarakat, terutama mengingat banyaknya konsumen yang sehari-hari menggunakan galon dengan berbagai risiko yang tidak diketahui. Dengan langkah yang lebih tegas dari pemerintah dan edukasi yang memadai, diharapkan masyarakat dapat lebih terlindungi dari potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh paparan BPA.