
Korea Selatan akan melaksanakan pemilihan presiden pada tanggal 3 Juni 2025, menyusul pencopotan Yoon Suk Yeol dari jabatan presiden yang sah. Keputusan tersebut diumumkan oleh Han Duck-soo, pemimpin sementara yang menduduki posisi kepala negara setelah Mahkamah Konstitusi mengesahkan pemakzulan Yoon akibat deklarasi darurat militer yang mengejutkan. Pekan lalu, Mahkamah menguatkan keputusan pemakzulan yang telah dilakukan parlemen pada bulan Desember, sehingga mendorong negara untuk segera melaksanakan pemilu dalam kurun waktu 60 hari.
Han Duck-soo menekankan pentingnya bagi negara untuk “segera sembuh dari luka” yang ditimbulkan oleh peristiwa politik yang tidak stabil dalam beberapa bulan terakhir. “Kami harus bergerak maju dan ke atas,” ungkapnya dalam konferensi pers yang diadakan pada hari Selasa.
Deklarasi darurat militer oleh Yoon Suk Yeol telah menyebabkan ketidakpastian politik yang mendalam di Korea Selatan dan menyoroti perpecahan serius dalam masyarakat. Dalam sebuah pernyataan, Han meminta maaf kepada masyarakat atas kebingungan dan kekhawatiran yang ditimbulkan selama empat bulan terakhir. Keputusan tersebut juga memperlihatkan bagaimana pergeseran politik dapat berdampak besar terhadap stabilitas negara.
Yoon, yang menjabat sebagai presiden hanya dalam waktu singkat, menyatakan bahwa langkah tersebut diambil karena adanya ancaman dari “kekuatan anti-negara” dan Korea Utara. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang berpendapat bahwa deklarasi tersebut lebih didasari oleh tekanan politik dalam negeri ketimbang ancaman eksternal yang sebenarnya. Komplikasi lebih lanjut muncul karena Yoon kini juga menghadapi tuduhan pemberontakan dan sedang berurusan dengan hukum di pengadilan pidana.
Sejumlah politisi telah menunjukkan minat untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Menteri Tenaga Kerja Kim Moon-soo telah mengundurkan diri untuk memulai kampanye, sementara Ahn Cheol-soo, anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa, juga mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri. Namun, kandidat terkuat saat ini adalah Lee Jae-myung, pemimpin oposisi yang sebelumnya kalah dalam pemilu ketat melawan Yoon pada tahun 2022. Dalam survei Gallup terbaru, Lee memperoleh dukungan sebesar 34%, menjadikannya sebagai pesaing utama dalam pemilu mendatang.
Situasi politik di Korea Selatan semakin rumit, dengan negara terpecah antara pendukung dan penentang Yoon Suk Yeol. Meskipun banyak yang turun ke jalan menuntut penggulingan presiden, terdapat pula dukungan yang semakin meningkat dari kelompok penyangga Yoon, yang menunjukkan potensi untuk eskalasi lebih lanjut dalam kekacauan politik.
Lebih jauh lagi, Korea Selatan menghadapi tantangan ekonomi yang baru dengan adanya tarif besar-besaran yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat saat ini. Dengan tarif sebesar 25% dikenakan pada ekspor Korea Selatan ke AS, pemerintah setempat tengah berupaya untuk melakukan negosiasi dengan pemerintahan Trump demi melindungi perekonomian negara.
Penyelenggaraan pemilu presiden diharapkan dapat membawa stabilitas dan arah baru bagi Korea Selatan setelah periode ketidakpastian ini. Masyarakat kini menunggu dengan cermat siapa yang akan memimpin negara ke depan serta bagaimana mereka akan merespons tantangan-tantangan yang ada, baik di bidang politik maupun ekonomi. Dalam waktu dekat, kejelasan mengenai calon-calon presiden dan platform mereka diharapkan dapat menjawab harapan publik untuk sebuah transisi yang lebih baik.