Menjelang sidang kedua gugatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Maybrat, masalah serius mencuat setelah Calon Bupati nomor urut 2, Agustinus Tenau-Marthen Howay, resmi mengadukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Maybrat ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pengaduan ini dilayangkan terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut dalam penyelenggaraan Pilkada.
Tim kuasa hukum Agustinus-Marthen, Arsi Divinubun, menjelaskan bahwa tindakan penyelenggara pemilu dianggap tidak profesional dan berpihak kepada salah satu paslon, yang menyebabkan konflik di tengah masyarakat. “Penyelenggara Pemilu diduga telah melakukan pelanggaran berat kode etik penyelenggaraan Pemilu, tidak profesional, tidak jujur, tidak adil serta secara terang-terangan berpihak pada paslon tertentu,” ungkap Arsi dalam keterangan tertulisnya.
Berikut adalah beberapa dugaan pelanggaran yang diangkat dalam laporan tersebut:
- Pelanggaran Kode Etik: KPU dan Bawaslu terlibat dalam pelanggaran kode etik yang dianggap mengganggu proses demokrasi.
- Pihak Ketiga dalam Penempatan KPPS: KPU diduga secara sengaja melanggar aturan dengan mengatur perekrutan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk menduduki posisi strategis yang menguntungkan paslon tertentu.
- Pengabaian Kewajiban: Bawaslu dituduh mengabaikan puluhan laporan pelanggaran dari pemilih yang terjadi di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Maybrat.
- Potensi Konflik Horizontal: Dengan tindakan yang terindikasi berat sebelah ini, Arsi memperingatkan bahwa hal tersebut dapat memicu konflik horizontal di masyarakat.
Arsi menekankan pentingnya agar DKPP menindaklanjuti laporan tersebut dan memberikan sanksi yang tepat kepada penyelenggara pemilu yang dimaksud. "Kami berharap DKPP bisa menindaklanjuti temuan ini dan memberikan sanksi kepada para penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab," ujar Arsi.
Laporan tersebut bukan tanpa dasar, mengingat sebanyak 126 laporan terkait pelanggaran telah disampaikan namun tidak satu pun yang diproses oleh Bawaslu. Hal ini menambah kesan bahwa lembaga pengawas pemilu tersebut tidak menjalankan tugasnya secara optimal. Menurut Arsi, melewatkan laporan-laporan ini menunjukkan adanya kerjasama tidak etis antara penyelenggara pemilu untuk memenangkan pasangan tertentu.
Dugaan pengabaian ini mengarah pada ketidakpuasan masyarakat terhadap integritas pelaksanaan Pemilu. Warga di Kabupaten Maybrat khawatir bahwa jika hal ini tidak ditanggapi serius, akan ada lebih banyak masalah yang muncul, yang dapat merusak reputasi demokrasi di daerah tersebut. Desakan agar DKPP bertindak cepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku menjadi harapan masyarakat untuk melihat keadilan dan pemerintahan yang bersih.
Persoalan ini juga menggugah perhatian banyak pihak, termasuk organ-organ pendukung pemilu yang sudah seharusnya mengikuti prinsip transparansi dan akuntabilitas. Keberadaan Bawaslu sebagai lembaga pengawasan pemilu tidak seharusnya menjadi justifikasi bagi potensi penyimpangan yang merugikan proses demokrasi di Kabupaten Maybrat.
Kasus ini menjadi sorotan utama menjelang sidang kedua dan menunjukkan bagaimana integritas penyelenggara pemilu dipertaruhkan. Dari sini, diharapkan ada evaluasi mendalam tentang sistem dan cara kerja KPU dan Bawaslu, untuk memastikan bahwa pemilihan umum di Indonesia dapat berlangsung lebih fair dan akuntabel ke depannya. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi, semua pihak diharapkan dapat berkontribusi untuk meminimalisir konflik dan menjaga keharmonisan sosial selama dan setelah proses Pilkada.