
Kredit perbankan di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan pada awal tahun 2025, dengan mencatat peningkatan sebesar 10,27% secara tahunan (YoY). Meskipun angka ini mengalami sedikit pelambatan dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 10,39% pada Desember 2024 dan 11,83% pada Januari 2024, pertumbuhan kredit perbankan masih mempertahankan posisi double-digit, yang merupakan indikasi positif bagi perekonomian nasional.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur pada Rabu, 19 Februari 2025, menyatakan bahwa pertumbuhan kredit ini didorong oleh dua faktor utama, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari segi penawaran, perbankan berhasil merealokasikan alat likuid ke dalam penyaluran kredit, yang menunjukkan adanya upaya serius dari institusi keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan. Selain itu, kondisi likuiditas perbankan tetap baik, didukung oleh dana pihak ketiga (DPK) yang tetap terjaga.
Adapun dari sisi permintaan, Perry menambahkan, pertumbuhan kredit didukung oleh penjualan korporasi yang menunjukkan perkembangan positif, di tengah terbatasnya konsumsi rumah tangga. Hal ini mencerminkan perubahan perilaku konsumen yang lebih berhati-hati dalam pengeluaran, terutama dalam konteks perekonomian yang masih beradaptasi pascapandemi.
Dalam analisis lebih mendalam terkait pertumbuhan kredit per bank, terdapat beberapa kategori yang menunjukkan grafik pertumbuhan yang berbeda. Berikut ini adalah rincian pertumbuhan kredit berdasarkan kelompok penggunaan:
- Kredit Modal Kerja (KMK): Tumbuh sebesar 8,40% YoY.
- Kredit Investasi (KI): Mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dengan angka 13,22% YoY.
- Kredit Konsumsi (KK): Naik menjadi 10,37% YoY.
- Pembiayaan Syariah: Menunjukkan pertumbuhan tercatat sebesar 9,71% YoY.
- Kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM): Tumbuh lebih rendah, yakni sebesar 2,88% YoY.
Data ini menunjukkan variasi dalam permintaan kredit di antara berbagai sektor. Sektor investasi menonjol dengan pertumbuhan yang robust, sementara UMKM menunjukkan pertumbuhan yang lebih modest. Hal ini menandakan tantangan yang mungkin dihadapi UMKM dalam mengakses pembiayaan di kalangan perbankan.
Perry Warjiyo juga menambahkan bahwa ke depan, BI akan terus mendorong pertumbuhan kredit melalui kebijakan makroprudensial yang bersifat akomodatif. Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia, terutama dalam situasi di mana tantangan global masih dapat mempengaruhi kinerja ekonomi domestik.
Interest terhadap pembiayaan jangka panjang, terutama dalam sektor investasi, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Perbankan diharapkan bisa berperan aktif dalam memfasilitasi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar, tidak hanya bagi korporasi besar, tetapi juga untuk UMKM yang merupakan backbone perekonomian.
Dengan kondisi likuiditas yang solid dan dukungan kebijakan dari pemerintah dan Bank Indonesia, harapan untuk pertumbuhan kredit yang lebih tinggi di masa mendatang tetap ada. Kondisi ini tentunya memberikan optimisme kepada pelaku pasar dan pengguna jasa keuangan, sekaligus menjadi refleksi atas daya tahan ekonomi Indonesia di tengah tantangan yang ada.