Indonesia

Laut Sumenep Bersertifikat: Ini Jawaban BPN yang Mengejutkan!

Sumenep, Podme.id – Isu mengenai sertifikasi lahan laut kembali mengemuka di Sumenep, Madura, dengan munculnya wilayah seluas 20 hektare yang terletak di Dusun Tapak Kerbau, Desa Gresik Putih, Kecamatan Gapura. Wilayah ini tercatat memiliki sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak tahun 2009. Namun, situasi ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat setempat, terutama menyusul rencana reklamasi dan pemagaran yang diusulkan oleh pihak pemilik sertifikat.

Sejak tahun 2023, klaim kepemilikan atas area laut tersebut menjadi sorotan setelah akan dilakukan reklamasi, yang dianggap dapat mengganggu sumber penghidupan masyarakat lokal yang mengandalkan perikanan. Puluhan nelayan dari daerah tersebut merasa khawatir bahwa keberadaan sertifikat ini akan mengancam mata pencaharian mereka. Berbagai suara penolakan bermunculan dari warga yang menilai bahwa kawasan laut tersebut seharusnya tetap menjadi area terbuka tanpa klaim kepemilikan.

Menyikapi situasi ini, Suprianto, Kasi Pendaftaran Hak pada ATR/BPN Sumenep, menjelaskan bahwa sertifikasi lahan tersebut dilakukan melalui proses ajudikasi yang melibatkan pengukuran oleh pihak ketiga. Ia menegaskan bahwa hasil pengukuran menyatakan bahwa area tersebut bukanlah laut, melainkan daratan yang tergenang air saat pasang dan kembali terlihat saat air surut. “Memang benar bahwa wilayah laut itu telah memiliki sertifikat resmi sejak 2009. Namun, hasil pengukuran menyimpulkan bahwa area tersebut bukan laut,” ungkap Suprianto.

Ada beberapa poin penting terkait isu lokasi laut bersertifikat di Sumenep yang perlu dicermati:

  1. Data Sertifikasi: Sertifikat lahan laut ini sah dan diakui oleh BPN sejak 2009, yang menunjukkan bahwa proses legalitas mengikuti prosedur yang ditetapkan.

  2. Proses Ajudikasi: Sertifikat tersebut diperoleh melalui proses ajudikasi, di mana pengukuran lahan melibatkan pihak ketiga untuk memastikan keakuratannya.

  3. Pengertian Luas Lahan: Menurut hasil pengukuran, area bersertifikat ini bukan termasuk laut melainkan daratan rendah yang terendam saat pasang, sehingga kelayakan atas klaim kepemilikan pun menjadi area abu-abu secara hukum.

  4. Opini Masyarakat: Masyarakat setempat menunjukkan keberatan terhadap rencana reklamasi yang dikhawatirkan akan memicu konflik dengan pemanfaatan sumber daya laut yang selama ini telah menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.

  5. Pilihan Hukum: Suprianto juga menyatakan bahwa jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, mereka berhak untuk mengajukan gugatan, meskipun sertifikat yang ada tetap sah.

Fenomena sertifikasi lahan laut bukanlah hal baru di Indonesia, dan Sumenep bukan satu-satunya daerah yang dihadapkan pada masalah serupa. Beberapa wilayah lain, termasuk Sidoarjo, juga mengalami konflik serupa akibat pengusulan sertifikasi terhadap area-area yang sebelumnya dianggap merupakan sumber daya publik. Keberadaan sertifikat di Sumenep menambah deretan panjang masalah legal tersebut dan memicu diskusi mengenai batasan hak atas penggunaan lahan dan perlindungan sumber daya laut.

Dalam konteks ini, langkah proaktif dari semua pihak — baik pemerintah, BPN, maupun masyarakat — sangat penting untuk menanggulangi potensi konflik. Penjelasan resmi dari BPN dan transparansi dalam pengukuran hukum menjadi kunci untuk meredakan ketegangan yang muncul, serta mencapai solusi yang menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan. Selain itu, perlu ada dialog yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat agar kepentingan ekosistem dan keberlanjutan mata pencaharian warga lokal tetap terjaga dalam pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan.

Siti Aisyah

Siti Aisyah adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button