LBH Jakarta: Superioritas Penyidikan Terancam Hak Tersangka

Jakarta, Podme.id – Issu superioritas penyidikan dalam pembahasan RUU KUHAP semakin mendominasi ruang diskusi publik. Keresahan terhadap pokok pembahasan ini muncul karena banyak pihak meyakini bahwa konsep tersebut dapat mengakibatkan pelanggaran hak-hak tersangka, yang dikhawatirkan akan memperburuk proses penegakan hukum di Indonesia.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengungkapkan bahwa keberadaan superioritas penyidikan akan mendorong terjadinya berbagai pelanggaran hak tersangka. “Hal ini berpotensi memperburuk tujuan penyidikan yang seharusnya bertujuan menegakkan keadilan,” katanya dalam seminar berjudul “RUU KUHAP: Masa Depan Penegakkan Hukum Pidana di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan FORI Pasca Sarjana KSI X di Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, pada Kamis, 6 Maret 2025.

Arif menegaskan pentingnya independensi, profesionalisme, dan integritas dalam proses penegakan hukum. Ia menyarankan agar revisi KUHAP tidak ditujukan untuk memperkuat represivitas dan hegemoni kekuasaan. Dalam pandangannya, kontrol yang ketat terhadap kewenangan penyidikan dan upaya paksa menjadi hal yang krusial. “Bantuan hukum memiliki peran signifikan dalam menjaga hak-hak tersangka,” ujar Arif.

Berdasarkan data LBH Jakarta, antara Januari hingga September 2023, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menerima 1.150 laporan saran dan keluhan dari masyarakat. Dari jumlah tersebut, 1.098 laporan berkaitan dengan pelayanan buruk yang diterima masyarakat dari pihak kepolisian. Arif mengkhawatirkan buruknya pelayanan tersebut dapat menciptakan persepsi negatif di masyarakat, serta meningkatkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang.

Lebih jauh, penelitian LBH Jakarta dan MaPPI FH UI menunjukkan bahwa dari sebanyak 1.144.108 perkara yang diterima antara 2012-2014, hanya 645.780 perkara yang berhasil diproses. “Data ini mencerminkan banyak perkara yang mengendap atau hilang tanpa kejelasan,” jelasnya. Arif menyoroti bahwa berbagai masalah dalam proses penyidikan di Indonesia, seperti salah tangkap, intimidasi, dan penyiksaan, harus diatasi dalam revisi KUHAP mendatang.

Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menyatakan bahwa penambahan kewenangan penyidik dalam draf RUU KUHAP bisa berisiko pada pemberian kewenangan absolut kepada mereka. Ia menekankan, “Hal ini akan menghilangkan prinsip check and balance dalam sistem peradilan pidana.” Beberapa pasal dalam draf tersebut, seperti Pasal 16 (1) yang memungkinkan penyidikan dilakukan tanpa memberitahu penuntut umum terlebih dahulu, menjadi sorotan.

Bambang menekankan bahwa revisi KUHAP seharusnya membangun perlindungan terhadap hak-hak warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan. “Tanpa adanya kontrol dan pengawasan yang jelas, kesewenang-wenangan penyidik akan terus terjadi,” imbuhnya.

Diskusi mengenai model koordinasi penyidikan antara penegak hukum di berbagai negara juga dinyatakan oleh Dr. Febby Mutiara Nelson dari Fakultas Hukum UI. Di Prancis, misalnya, polisi melaksanakan tugas penyidikan di bawah arahan jaksa, sedangkan di Belanda, struktur penyidikan diatur oleh Board of Prosecutors General yang memiliki kewenangan tertinggi. “Koordinasi yang baik dapat membantu mengawasi pelaksanaan penyidikan dan penuntutan,” katanya.

Febby merekomendasikan peningkatan koordinasi dalam revisi KUHAP dan pentingnya penguatan mekanisme pengawasan dalam sistem peradilan pidana. Ia juga menyarankan pendekatan lebih efisien dalam proses penegakan hukum, termasuk pemanfaatan teknologi informasi.

Dalam konteks revisi KUHAP, pembahasan tentang superioritas penyidikan harus menjadi perhatian yang serius agar tidak mengabaikan hak-hak tersangka. Keseimbangan antara kewenangan penyidik dan perlindungan hak-hak individu memerlukan regulasi yang transparan dan akuntabel, demi terciptanya sistem peradilan yang adil dan tidak diskriminatif.

Exit mobile version