
Jakarta: Upaya untuk menghapuskan praktik perkawinan anak di Indonesia harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam keterangan tertulisnya pada tanggal 23 Maret 2025. Menurutnya, meskipun ada tren penurunan angka perkawinan anak dalam beberapa tahun terakhir, perhatian lebih diperlukan untuk memastikan pencegahan yang efektif terhadap praktik ini.
“Tren penurunan angka perkawinan anak yang terjadi saat ini harus kita syukuri. Namun lebih penting dari itu adalah bagaimana perkawinan anak itu benar-benar bisa dicegah agar tidak terjadi,” ujar Lestari. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa angka perkawinan anak mengalami penurunan signifikan dari 10,35% pada tahun 2021 menjadi 6,92% pada tahun 2023.
Kemen PPPA menyatakan bahwa capaian tersebut merupakan hasil kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, mulai dari tingkat provinsi hingga desa, serta tokoh masyarakat dan agama. Dalam pandangan Lestari, kolaborasi ini perlu terus ditingkatkan agar upaya penghapusan perkawinan anak bisa terwujud secara nyata.
Pentingnya tindakan preventif diungkapkan oleh Lestari, yang akrab disapa Rerie. Dia menegaskan bahwa jika praktik perkawinan anak tetap ada, maka kualitas generasi penerus bangsa akan terancam. “Kekhawatiran terhadap kualitas generasi penerus bangsa yang rendah di masa datang semakin besar bila perkawinan anak masih terjadi,” tambahnya.
Lebih jauh, Rerie mengungkapkan risiko yang mengancam anak-anak dari hasil perkawinan usia dini. Ia mencatat bahwa anak-anak tersebut lebih rentan terhadap kematian dan kekurangan gizi, serta memiliki kemungkinan lebih besar mengalami stunting, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Kondisi ini, menurutnya, akan menjadi tantangan serius bagi masyarakat dan pemerintah jika tidak segera ditangani.
Dia juga mendorong seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah, untuk bekerja sama dalam mencegah terjadinya perkawinan anak. Lestari berpendapat, penting bagi setiap daerah untuk proaktif dalam mengatasi isu ini. “Saya sangat berharap para pihak terkait dapat terus meningkatkan kolaborasi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di daerahnya masing-masing,” kata Rerie.
Secara lebih luas, upaya penghapusan perkawinan anak di Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga harus melibatkan peran aktif masyarakat. Pendidikan, penyuluhan, dan kampanye kesadaran merupakan langkah-langkah penting yang perlu diimplementasikan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang dampak negatif dari perkawinan anak.
Perluasan jaringan kolaborasi antara berbagai lembaga, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat menciptakan sinergi yang kuat dalam mencegah praktik ini. Selain itu, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran terkait perkawinan anak juga akan memberikan efek jera bagi yang melanggar.
Statistik menunjukkan penurunan angka perkawinan anak yang diungkap Kemen PPPA sangat menggembirakan, tetapi harus diingat bahwa upaya mencegah praktik ini harus terus dilakukan hingga angka tersebut mencapai titik nol. Apabila kolaborasi dan langkah-langkah strategis di tingkat lokal hingga nasional diintensifkan, Indonesia berpotensi untuk menghasilkan generasi muda yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Pentingnya konsistensi dalam upaya penghapusan perkawinan anak di Indonesia tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi juga bagian dari komitmen global untuk mencapai kesetaraan gender dan perlindungan hak anak. Keberhasilan di bidang ini akan menciptakan masa depan yang lebih baik dan lebih cerah bagi generasi penerus bangsa.