Penelitian terbaru mengungkap bahwa sejumlah lubang hitam supermasif berputar jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini diungkapkan melalui metode baru yang dikenal sebagai "arkeologi lubang hitam". Metode ini menghubungkan laju putaran lubang hitam dengan gas dan debu yang telah mereka konsumsi selama lebih dari 7 miliar tahun dalam sejarah kosmik. Temuan ini berasal dari survei yang dilakukan oleh Sloan Digital Sky Survey (SDSS) dan menambahkan lapisan baru pada pemahaman kita tentang evolusi lubang hitam di alam semesta.
Kepala penelitian Logan Fries dari Universitas Connecticut menyatakan, "Kami telah mempelajari lubang hitam raksasa yang berada di pusat galaksi, dari masa kini hingga sejauh 7 miliar tahun yang lalu. Secara tak terduga, kami menemukan bahwa banyak di antara mereka berputar terlalu cepat jika hanya terbentuk melalui penggabungan galaksi." Fries juga menambahkan bahwa pertumbuhan lubang hitam supermasif tidak hanya terjadi melalui penggabungan bertahap dari lubang hitam yang lebih besar akibat tabrakan galaksi, tetapi juga didorong oleh konsumsi besar-besaran gas dan debu di sekitarnya.
Ada beberapa poin penting terkait dengan penemuan ini:
Pertumbuhan Lubang Hitam: Ternyata yang mendukung pertumbuhan lubang hitam bukan hanya tabrakan antar galaksi, tetapi juga akumulasi material dari lingkungan sekitar yang meningkatkan massa dan mempercepat rotasi.
Dampak terhadap Paradigma Kosmik: Penemuan ini menunjukkan bahwa alam semesta awal mungkin lebih teratur dari yang diperkirakan, menggugurkan pandangan bahwa lubang hitam hanya terbentuk melalui proses penggabungan yang acak.
- Pengukuran Putaran Lubang Hitam: Pengukuran laju putaran lubang hitam tidaklah mudah. Secara sederhana, lubang hitam dapat didefinisikan oleh tiga karakteristik utama: massa, putaran, dan muatan listrik. Namun, dalam praktiknya, massa dan putaran sulit untuk diukur secara akurat.
Menurut peneliti Jonathan Trump, tantangan terletak pada memisahkan rotasi lubang hitam dari rotasi cakram akresi di sekitarnya. "Kuncinya adalah melihat area terdalam, tempat gas jatuh ke cakrawala peristiwa lubang hitam," ujarnya. Saat lubang hitam berputar, ia menarik material di area tersebut, yang menciptakan perbedaan yang dapat diobservasi pada pengukuran.
Proyek Reverberation Mapping dari SDSS memainkan peran penting dalam mengukur kecepatan putaran lubang hitam. Dengan analisis detail terhadap spektrum cahaya yang dipancarkan, para ilmuwan mampu mengukur variasi panjang gelombang cahaya yang memberikan informasi mengenai rotasi lubang hitam. Fries menjelaskan, "Saya menyebut pendekatan ini sebagai ‘arkeologi lubang hitam’ karena kita mencoba memahami bagaimana massa lubang hitam bertambah seiring waktu."
Model yang diterima saat ini menunjukkan bahwa lubang hitam supermasif tumbuh melalui proses penggabungan galaksi. Namun, hasil terbaru menunjukkan bahwa banyak lubang hitam berputar lebih cepat daripada yang diharapkan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa lubang hitam di galaksi yang lebih jauh memiliki rotasi yang lebih cepat dibandingkan dengan yang berada di lingkungan galaksi lokal.
Kemungkinan besar, aliran gas dan debu yang jatuh ke dalam lubang hitam juga turut menambah momentum sudut, dan ini menyoroti salah satu cara di mana akumulasi dapat terjadi secara bertahap. Para peneliti berencana untuk menguji lebih lanjut hipotesis ini dengan menggunakan pengamatan dari Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST), yang telah menemukan beberapa lubang hitam supermasif dari periode awal dalam sejarah alam semesta.
Juna Kollmeier, Direktur SDSS-V, mengungkapkan, "Lubang hitam benar-benar berada di garis depan pemahaman manusia". Dengan survei astronomi besar seperti SDSS, para ilmuwan bertujuan untuk membangun gambar empiris mengenai sifat dasar lubang hitam sehingga teori-teori yang ada dapat diuji dan diverifikasi. Temuan ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang evolusi kosmik dan peran lubang hitam dalam struktur alam semesta.