Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengungkapkan kekhawatirannya terkait kasus pagar laut di Tangerang yang diduga sarat dengan praktik korupsi dan kolusi. Dalam pernyataannya yang disampaikan pada Rabu (12/2/2025), Mahfud berpendapat bahwa hampir tidak mungkin suatu kasus sebesar ini tidak melibatkan permainan uang yang berpotensi merugikan negara.
Mahfud menggarisbawahi bahwa ada indikasi kuat yang menunjukkan adanya kompensasi yang bersifat korupsi, termasuk penerbitan sertifikat untuk hal-hal yang jelas dilarang. “Ini hampir tidak mungkin tidak ada permainan uang, tidak ada kompensasi yang sifatnya korupsi, sampai sesuatu yang jelas-jelas dilarang bisa diberi sertifikat, dari situ arahnya,” jelas Mahfud.
Dalam situasi ini, Mahfud menyarankan agar aparat penegak hukum memfokuskan penyelidikan pada aspek korupsi dan kolusi yang dinilai dapat membahayakan negara. Ia berpendapat bahwa fokus penyelidikan sebaiknya tidak hanya pada pemalsuan dokumen. “Jangan ke pemalsuan dokumen, ya itu nanti akan dengan sendirinya (terungkap). Yang kecil-kecil itu dengan sendirinya, lurah yang bikin keterangan, RT yang bikin keterangan, itu nanti dengan sendirinya. Tapi yang di atas itu kan korupsi dan kolusi yang membahayakan negara ini, bukan sekedar kriminal biasa, ini kejahatan terhadap negara,” tambahnya.
Kasus pagar laut Tangerang ini menggulirkan banyak pertanyaan imbas dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri terhadap Kepala Desa Kohod, Arsin. Arsin diperiksa sebagai saksi, dan dalam proses penyelidikan ditemukan modus operandi di mana Arsin dan rekan-rekannya menggunakan surat palsu untuk mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan keterangan dari Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, penyidik menemukan fakta bahwa terlapor dan kawan-kawan menggunakan dokumen palsu dalam melakukan permohonan pengukuran dan pengakuan hak. Ini menandakan adanya kelalaian serius dalam prosedur pengeluaran sertifikat yang diduga tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kejadian ini bukan hanya menimbulkan pertanyaan mengenai integritas proses pembuatan sertifikat tanah, tetapi juga menyoroti lemahnya pengawasan dalam pengelolaan lahan yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa masih ada potensi besar untuk terjadinya praktik serupa di masa mendatang, yang dapat merugikan masyarakat dan negara.
Mengacu pada hal ini, Mahfud menekankan pentingnya penegakan hukum yang keras terhadap tindakan korupsi yang merugikan perekonomian negara. Dalam pandangannya, penanganan kasus ini harus melibatkan penelusuran hingga ke akar penyebab masalah, untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat mendapatkan sanksi yang setimpal.
Selain itu, kasus ini menambah catatan panjang mengenai korupsi dalam penguasaan tanah di Indonesia, yang selama ini menjadi isu krusial. Dengan praktek-praktek korupsi yang terungkap, diharapkan penegakan hukum dapat mencegah terulangnya tindakan serupa yang hanya merugikan kepentingan masyarakat luas.
Pihak berwenang diharapkan bergerak cepat, tidak hanya untuk menyelesaikan kasus pagar laut Tangerang, tetapi juga untuk memperbaiki sistem yang ada agar ke depan tidak terjadi lagi penyalahgunaan jabatan dan pemalsuan dokumen yang dapat menciptakan ketidakadilan dalam penguasaan hak atas lahan. Ini adalah langkah penting dalam usaha membangun sistem pertanahan yang transparan dan akuntabel di seluruh Indonesia.