
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menegaskan bahwa Mahkamah Agung (MA) harus membuka diri terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) guna mencegah tindakan suap di kalangan hakim. Pernyataan ini disampaikan Boyamin sebagai tanggapan atas meningkatnya kasus dugaan suap yang melibatkan sejumlah hakim, termasuk mantan Sekretaris MA, Hasbi Hasan, serta sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Surabaya.
Menurut Boyamin, pengawasan yang dilakukan oleh KY sangat penting, mengingat lembaga tersebut dibentuk berdasarkan amanat UUD 1945 untuk memastikan independensi MA dalam menegakkan keadilan. “Mahkamah Agung harus membuka diri selebar-lebarnya terhadap Komisi Yudisial,” ujarnya kepada Podme.id, menekankan bahwa KY tidak hanya berfungsi untuk mengawasi perilaku hakim, tetapi juga untuk menilai dan mengaudit keputusan-keputusan yang diambil oleh hakim.
Boyamin menjelaskan bahwa sebelum 2009, KY memiliki keleluasaan dalam menyusun kode etik yang mengatur perilaku hakim dengan lebih holistik. Namun, setelah perubahan tersebut, KY hanya mampu mengawasi perilaku seperti zina, selingkuh, dan penyalahgunaan narkoba, yang membuat pengawasan terhadap penyimpangan yang bersifat finansial menjadi sangat sulit dilaksanakan.
Belum lama ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait putusan vonis lepas dalam kasus korupsi ekspor minyak mentah (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Ketiga hakim tersebut, Djumyanto sebagai Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, diduga menerima suap dalam penanganan perkara yang sedang mereka tangani. Dalam penjelasan yang diungkap oleh Direktur Penyidikan Jampidsus, ketiga hakim tersebut terbukti menerima sejumlah uang untuk mengatur putusan bebas bagi terdakwa.
Dalam proses pengajuan keputusan, terungkap adanya kesepakatan antara pengacara terdakwa, Ariyanto Bakri, dan panitera pengadilan untuk memberikan suap sebesar Rp20 miliar. Namun, kesepakatan ini berkembang menjadi permintaan suap sebesar Rp60 miliar yang akhirnya juga disetujui oleh Wakil Ketua Pengadilan saat itu. Diduga, uang suap tersebut digunakan untuk mempengaruhi keputusan hakim dengan harapan agar terdakwa dapat menghindari hukuman.
Boyamin melanjutkan bahwa jika MA beralasan telah memiliki Badan Pengawas (Bawas), hal ini justru diangap menunjukkan sikap tertutup. Dia menginginkan agar MA mengikuti jejak institusi lain, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan KPK, yang telah berusaha untuk membuka diri terhadap kritik masyarakat.
Kasus-kasus suap ini bukanlah permasalahan baru di lingkungan MA. MAKI telah lama mengamati bahwa maraknya dugaan suap yang melibatkan hakim dapat berakibat fatal terhadap kredibilitas lembaga peradilan. Boyamin mengungkapkan keyakinan bahwa tanpa keterlibatan dan pengawasan yang lebih ketat dari KY, pengendalian terhadap praktik suap di peradilan akan semakin sulit dilakukan.
Mengingat banyaknya kasus yang telah terungkap, Boyamin mendorong MA untuk berkolaborasi dengan KY dalam melakukan audit menyeluruh, termasuk di dalamnya menilai proses pengambilan keputusan dalam kasus-kasus yang dicurigai melibatkan suap. “Semua dugaan penyimpangan harus didalami bersama-sama,” tegasnya.
Di tengah keresahan masyarakat terhadap integritas hakim, MA harus bertindak cepat dan transparan. Dengan mengizinkan pengawasan dari KY, diharapkan bisa mencegah terulangnya kasus-kasus suap yang dapat menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Sudah saatnya MA tidak hanya berpangku tangan berharap pada mekanisme internal yang ada, tetapi juga membuka diri untuk menjaga marwah dan integritas lembaga peradilan di Indonesia.