
Ketegangan dagang di Asia Tenggara kembali meningkat setelah pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump menerapkan tarif impor yang signifikan terhadap sejumlah negara. Langkah ini memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara ASEAN, yang menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak oleh kebijakan tersebut. Dalam upaya menghadapi tantangan ini, Malaysia, sebagai Ketua ASEAN, mengambil inisiatif melibatkan negara-negara anggota untuk membahas strategi respons.
Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, menegaskan bahwa negara tetap berkomitmen untuk melakukan koordinasi regional dalam menghadapi kebijakan tarif tersebut. “Malaysia, sebagai Ketua ASEAN, akan memimpin upaya untuk menghadirkan sikap regional yang bersatu, menjaga rantai pasok tetap terbuka dan tangguh, serta memastikan suara kolektif ASEAN terdengar jelas dan tegas di panggung internasional,” kata Anwar dalam pernyataannya. Hal ini menunjukkan bahwa Malaysia berusaha untuk meminimalisir dampak negatif dari tarif yang ditetapkan oleh AS, yang secara langsung mempengaruhi berbagai produk ekspor negara-negara di kawasan tersebut.
Tarif baru yang diterapkan oleh pemerintahan Trump menjadikan Vietnam dan Kamboja sebagai negara yang paling terpengaruh dengan tarif sebesar 46% dan 49% secara berturut-turut, sementara Malaysia dikenakan tarif 24%. Meskipun tarif ini dapat berdampak besar pada perekonomian negara-negara tersebut, Anwar menyampaikan bahwa Malaysia tidak berniat untuk melakukan aksi balasan tetapi lebih mengutamakan dialog konstruktif dengan pihak AS. Menurutnya, upaya ini menjadi penting untuk menemukan solusi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam pertemuan yang dilakukan sebelumnya, Anwar telah berbicara dengan Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh, serta berkomunikasi dengan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengenai kebijakan tarif ini. Dari pertemuan tersebut, tampak bahwa kolaborasi antar negara ASEAN sangat penting untuk menghadapi situasi yang dihadapi. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, tentunya harus mempertimbangkan strategi yang sejalan dengan upaya Malaysia untuk menjaga stabilitas dan formalitas perdagangan di kawasan tersebut.
Malaysia telah mengambil langkah berani dengan membentuk pusat komando geo-ekonomi untuk menghadapi tantangan ini. Meskipun mereka menolak klaim bahwa Malaysia mengenakan tarif tinggi terhadap barang dagangan asal AS, Anwar mengaku bahwa pemerintah tetap waspada. “Tanggapan Malaysia akan tenang, tegas, dan berpijak pada kepentingan nasional,” tegas Anwar. Dia juga mengakui bahwa keberadaan tarif ini dapat memberikan dampak pada target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Malaysia untuk 2025, jika tarif mulai berlaku efektif pada 9 April mendatang.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai posisi dan langkah yang akan diambil oleh Indonesia dalam menghadapi kebijakan perdagangan AS. Dengan pasar yang semakin kompetitif, Indonesia perlu merumuskan strategi yang tidak hanya melindungi kepentingan domestik, tetapi juga berkontribusi pada kerjasama yang lebih luas di ASEAN. Kemungkinan untuk mengajukan negosiasi dengan AS, seperti yang telah dilakukan oleh Kamboja, menjadi pilihan yang bisa dipertimbangkan.
Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, diharapkan dapat bekerja sama untuk mengatasi dampak negatif dari kebijakan ini dan benturan yang mungkin muncul di pasar global. Menciptakan dialog dan restrukturisasi hubungan perdagangan menjadi langkah yang esensial tidak hanya untuk menjaga stabilitas ekonomi kawasan tetapi juga untuk memastikan daya saing masing-masing negara tetap terjaga di tengah gejolak kebijakan perdagangan global.
Dalam konteks ini, Malaysia berperan sebagai pemimpin yang memimpin negosiasi untuk menghasilkan pendekatan yang lebih inklusif dan kolektif, memastikan bahwa suara ASEAN didengar dan mempertahankan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan dengan AS.