Sains

Masih Jadi Misteri: Bagaimana Alexander Agung Meninggal?

Alexander Agung, seorang pemimpin militer yang diakui sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah, meninggal dunia di Babilonia pada Juni 323 SM, dalam usia 32 tahun. Kematian yang terjadi setelah serangkaian penaklukan besar dari Balkan hingga India ini masih menyisakan misteri. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa kematiannya menandai titik balik yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran yang dibangunnya, namun penyebab kematiannya tetap belum terjawab hingga saat ini.

Berbagai teori berusaha menjelaskan hal ini, dan di antara teori-teori tersebut terdapat dua kategori besar: penyakit alami dan keracunan.

Dari sisi penyakit, ada beberapa penjelasan yang dikenal luas. Salah satunya adalah Sindrom Guillain-Barré, yang diusulkan oleh Katherine Hall dari Universitas Otago. Sindrom ini merupakan kelainan autoimun yang menyerang sistem saraf, sering kali menyebabkan kelumpuhan. Jika teori ini benar, Alexander mungkin masih hidup saat dianggap sudah meninggal, karena kondisinya yang menyerupai koma.

Teori lainnya adalah bahwa Alexander mungkin meninggal karena demam tifoid atau malaria. Profesor Ernesto Damiani dari Universitas Padova menyatakan bahwa gejala yang dilaporkan Alexander saat itu dapat berkaitan dengan demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica Typhi. Gejala seperti demam tinggi, lemas, dan pingsan kerap terjadi pada penderita tifoid, dan dialami juga oleh Alexander. Selain itu, kondisi kesehatan Alexander yang memburuk akibat luka perang bisa saja menjadikannya lebih rentan terhadap infeksi.

Beberapa peneliti juga mengusulkan teori alternatif, seperti kematian akibat pankreatitis, virus West Nile, atau ensefalopati traumatis kronis, yang dapat terjadi akibat cedera yang didapatnya selama pertempuran.

Di sisi lain, teori konspirasi juga banyak beredar mengenai kematian Alexander. Salah satu teori yang populer adalah bahwa ia mungkin telah diracun. Terdapat dua sub-teori mengenai keracunan ini. Yang pertama adalah keracunan strychnine, di mana Adrienne Mayor dari Universitas Stanford berpendapat bahwa Alexander bisa saja terpapar zat beracun yang diketahui berasal dari tanaman di India dan Pakistan. Gejala keracunan ini mirip dengan yang dialami Alexander sebelum kematiannya, termasuk demam tinggi dan kelumpuhan.

Teori kedua mengenai keracunan arsenik dipegang oleh Paul Doherty, yang berpendapat bahwa menjelang akhir hidupnya, Alexander menjadi semakin paranoid dan otoriter. Hal ini bisa memicu beberapa orang dalam lingkaran dekatnya untuk menginginkan kematiannya, termasuk Ptolemeus I Soter, salah satu jenderalnya. Salah satu argumen mendukung teori ini adalah tidak adanya laporan mengenai orang lain di Babilonia yang jatuh sakit pada saat bersamaan seperti Alexander, yang jika ia meninggal karena penyakit, seharusnya ada lebih banyak orang yang juga terinfeksi.

Menariknya, meskipun banyak teori beredar, bukti fisik yang jelas mengenai penyebab kematiannya belum ditemukan, menyisakan misteri yang terus melingkupi Alexander Agung. Upaya pencarian jawaban masih berlanjut, dengan harapan bahwa penemuan arkeologis di masa mendatang mungkin dapat memberikan cahaya baru terhadap kematian sang legendaris ini. Salah satu harapan tersebut berasal dari gulungan kuno yang ditemukan di Perpustakaan Herculaneum, yang kini sedang dipelajari menggunakan teknologi pemindaian CT dan kecerdasan buatan.

Pertanyaan yang terus bergulir adalah, akankah misteri kematian Alexander Agung ini terpecahkan? Selama tidak ada bukti fisik yang jelas, kemungkinan pertanyaan ini tidak akan terjawab sepenuhnya. Namun, kemajuan dalam teknologi dan metode penelitian dapat membuka jalan untuk jawaban yang lebih pasti tentang bagaimana salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah ini mengakhiri hidupnya.

Maya Putri adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button