Indonesia memiliki cadangan gas yang signifikan, mencapai 54,76 Trillion Standard Cubic Feet (TSCF), dengan biaya pengembangan infrastruktur yang diperkirakan mencapai USD 32,42 miliar. Namun, perkembangan proyek gas di Indonesia menghadapi kritik tajam terkait dampaknya terhadap komitmen iklim negara, terutama setelah laporan terbaru dari debtWATCH dan Trend Asia. Laporan tersebut menyoroti bahwa penggunaan gas dapat menghambat upaya Indonesia dalam memenuhi komitmen yang tercantum dalam Perjanjian Paris, mengingat emisi yang dihasilkan — khususnya metana — memiliki dampak yang sangat merusak lingkungan.
Sebagian besar proyek gas di Indonesia, yang melibatkan lembaga keuangan seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank Group, dan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), tampaknya memperlihatkan ambiguitas dalam komitmen iklim. Meskipun beberapa dari lembaga keuangan ini telah menerapkan kebijakan untuk mengecualikan pendanaan untuk energi kotor, mereka tetap mendukung proyek LNG yang dianggap sebagai solusi sementara dalam transisi energi. Diana Gultom dari debtWatch Indonesia mengungkapkan bahwa pendanaan LNG cenderung lebih memperpanjang ketergantungan Indonesia pada sumber energi fosil, sehingga menciptakan situasi eksploitasi daripada kedaulatan energi.
Pemerintah Indonesia sejak awal telah merencanakan pengembangan infrastruktur gas sejak penggunaan gas cair pada tahun 1960-an. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah mengintegrasikan gas sebagai bagian dari strategi transisi energi. Namun, hal ini menuai kritik karena pemerintah mencetak citra progresif di forum internasional tetapi dalam praktiknya justru menambah ketergantungan pada energi fosil. Novita, juru kampanye energi fosil dari Trend Asia, menyatakan bahwa pengintegrasian gas dalam kebijakan transisi energi akan semakin menjauhkan Indonesia dari target penurunan emisi.
Ada beberapa proyek gas besar yang saat ini tengah berjalan, termasuk:
1. Proyek Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat dengan investasi sekitar 8 miliar USD dari ADB dan JBIC.
2. Bontang LNG di Kalimantan Timur dengan estimasi investasi 4 miliar USD yang dioperasikan oleh Pertamina.
3. Proyek LNG Abadi di Blok Masela, Maluku yang diperkirakan memerlukan investasi 19,8 miliar USD.
4. PLTG Arun di Aceh dan Bangkanai yang menerima dana dari Standard Chartered senilai 160 juta Euro.
Emisi metana yang dihasilkan dari proyek-proyek ini dapat memperburuk kondisi iklim, di mana metana diperkirakan bertanggung jawab atas 30 persen peningkatan temperatur global sejak revolusi industri. Jika Indonesia terus memperluas eksploitasi gas, maka emisi yang dihasilkan diprediksi akan melonjak, mempersempit ruang bagi perkembangan energi terbarukan.
Selain itu, isu terkait pemerintahan dan transparansi dalam pengelolaan proyek infrastruktur gas juga mengkhawatirkan. Laporan menunjukkan bahwa investasi miliaran dolar yang dialokasikan untuk proyek gas dapat membuka peluang besar untuk praktik korupsi. Sebelumnya, kasus korupsi yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, menjadi pengingat akan risiko tersebut.
Dengan membiarkan aliran dana mengalir ke proyek energi fosil, seharusnya Indonesia lebih mempertimbangkan investasi dalam energi terbarukan yang lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan. Diana Gultom menekankan bahwa negara ini memiliki potensi besar dalam energi bersih dan terbarukan, seperti energi dari matahari, air, dan angin, yang seharusnya diprioritaskan. Fokus pada pengelolaan energi yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan pelestarian lingkungan sangatlah penting dan mendesak untuk dilakukan di tengah tantangan iklim global yang semakin mendesak.