
Sejarah Banten memiliki akar yang dalam dan menarik, menggambarkan perjalanan panjang sebuah wilayah yang kini menjadi provinsi di ujung barat Pulau Jawa. Berdasarkan sumber resmi, Provinsi Banten dibentuk melalui pemekaran dari Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Asal usul nama Banten ternyata memiliki beberapa interpretasi. Salah satu penjelasan berasal dari istilah “katiban inten,” yang artinya kejatuhan intan. Istilah ini membawa kita kepada masa ketika masyarakat Banten, yang awalnya menyembah berhala, kemudian beralih kepada agama Buddha. Namun, ada pula yang mengaitkan nama Banten dengan kata “bantahan,” yang mencerminkan sikap masyarakat yang menolak tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh penjajah, khususnya Belanda. Konteks historis ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal berjuang mempertahankan identitas mereka di tengah kekuasaan asing.
Penting untuk dicatat bahwa sebutan “Banten” sudah ada jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Nama ini digunakan untuk menamai sebuah sungai yang dikenal dengan nama Cibanten. Transformasi Banten dari bagian Kerajaan Sunda menjadi kesultanan yang merdeka dimulai dengan penobatan Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1552, yang diangkat oleh ayahnya, Sunan Gunung Jati, sebagai Sultan pertama di daerah ini.
Banten pada awalnya merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda, di bawah penguasaan Prabu Pucuk Umun, yang merupakan putera dari Prabu Sidaraja Pajajaran. Pusat pemerintahan pertama Banten terletak di Banten Girang pada abad ke-6. Proses masuknya Islam ke wilayah ini dimulai ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam pada tahun 1524-1525, yang kemudian berhasil menaklukkan pemerintahan Prabu Pucuk Umun. Dengan kemenangan ini, kerajaan Islam di Banten terbentuk dan Maulana Hasanuddin pun diangkat sebagai Sultan.
Perpindahan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surosowan di Banten Lama terjadi atas prakarsa Sultan Hasanuddin. Di bawah kepemimpinannya, dan kemudian oleh pewarisnya, seperti Maulana Yusuf dan Sultan Muhammad Rafiudin, Kesultanan Banten berkembang cukup signifikan selama kurang lebih 264 tahun, dari tahun 1552 hingga 1816. Selama periode ini, banyak peristiwa penting terjadi, termasuk kedatangan orang Belanda yang ingin berdagang di Pelabuhan Banten.
Kedatangan Belanda sebenarnya memicu ketegangan antara pemerintah setempat dan pihak penjajah. Sikap arogan Belanda menyebabkan mereka kurang mendapat dukungan dari masyarakat Banten, menciptakan konflik yang berkepanjangan. Hal ini menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan Banten melawan kolonialisme.
Dalam rentang sejarahnya yang panjang, berikut beberapa Sultan dan Raja yang pernah memimpin Kesultanan Banten:
1. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan (1552)
2. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)
3. Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten (1580)
4. Sultan Abdul Mufakir Mahmud (1596)
5. Sultan Abdul Maali Achmad Kenari (1640)
6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)
7. Sultan Haji Abu Hasri Abdul Khahar (1672)
8. Sultan Abdul Fadhal (1687)
9. Sultan Abdul Mahasin Jainul Abidin (1690)
10. Sultan Muh. Syofai Jainul Arifin (1733)
11. Sultan Syarifudin Ratu Wakil (1750)
12. Sultan Muh. Wasi Jainul Arifin (1752)
13. Sultan Muh. Arif Jainul Asyikin (1753)
14. Sultan Abdul Mafakh Muh. Aliudin (1773)
15. Sultan Muhyidin Zainussalihin (1799)
16. Sultan Muh. Ishak Jainul Mutaqin (1801)
17. Sultan Pangeran Wakil Natawijaya (1803)
18. Sultan Aliudin (Aliudin II) (1803)
19. Sultan Pangeran Wakil Suramanggala (1808)
20. Sultan Muhammad Syafiudin (1809)
21. Sultan Muhammad Rafiudin (1813)
Seluruh perjalanan sejarah ini mencerminkan betapa berharganya warisan budaya dan perjuangan masyarakat Banten untuk mempertahankan wilayah dan identitas mereka di tengah gempuran kekuatan asing. Kini, Banten tidak hanya dikenal sebagai provinsi, tetapi juga sebagai simbol ketahanan dan dinamisme sejarah Indonesia.