
Mars telah lama dikenal sebagai “Planet Merah” dengan warna khas yang menarik perhatian banyak orang. Meski begitu, planet ini sering disebut sebagai “planet mati” karena lingkungan yang keras dan tidak ramah bagi kehidupan. Pencarian tanda-tanda kehidupan di Mars menjadi salah satu misi utama dalam penelitian luar angkasa, tetapi hasil yang diperoleh para ilmuwan menunjukkan bahwa kondisi planet ini berbeda jauh dari harapan.
Salah satu alasan utama mengapa Mars disebut sebagai planet mati adalah atmosfernya yang sangat tipis. Atmosfer Mars hanyalah sekitar 1% dari atmosfer Bumi, yang membuatnya hampir tidak mampu menopang kehidupan seperti yang kita kenal. Selain kekurangan oksigen dan nitrogen, komponen atmosfer lainnya juga tidak cukup untuk mendukung kehidupan. Tanpa atmosfer yang tebal, radiasi dari matahari dan ruang angkasa lainnya dapat langsung mencapai permukaan, menjadikan lingkungan di Mars sangat berbahaya bagi makhluk hidup.
Selain itu, suhu ekstrem di Mars juga berkontribusi pada statusnya sebagai planet mati. Tanpa efek rumah kaca yang kuat, suhu di Mars dapat berubah drastis, dari sangat dingin di malam hari hingga cukup panas di siang hari. Hal ini semakin memperkecil kemungkinan adanya kehidupan, terutama bentuk kehidupan seperti yang ada di Bumi.
Pada masa lalu, Mars diyakini memiliki lautan dan sungai yang luas, yang membuatnya lebih mirip dengan kondisi Bumi saat ini. Namun, saat ini, planet ini terkesan seperti padang pasir yang kering dan tandus. Air yang tersisa di Mars mayoritas dalam bentuk es, baik di kutub maupun di bawah permukaan tanah. Program penelitian dari NASA baru-baru ini mendeteksi bukti bahwa air cair mungkin masih ada di bawah permukaan, melalui instrumen spektrometer di satelit Mars Reconnaissance Orbiter. Temuan ini menunjukkan adanya mineral terhidrasi, perklorat, yang dapat mencegah air dari pembekuan, meskipun jumlahnya sangat sedikit.
Faktor lain yang menjadikan Mars tidak memungkinkan untuk dihuni adalah tidak adanya medan magnet global. Di Bumi, medan magnet yang dihasilkan dari inti planet berfungsi melindungi kita dari radiasi berbahaya. Sebaliknya, Mars kehilangan medan magnetnya seiring dengan mendingalnya inti planet. Tanpa perlindungan ini, radiasi langsung menyerang permukaan Mars, semakin menyulitkan kemungkinan adanya kehidupan. Meskipun ada sisa-sisa medan magnet lokal yang ditemukan di beberapa daerah di Mars, namun tidak cukup untuk menyediakan perlindungan yang diperlukan.
Walaupun saat ini Mars tidak mendukung kehidupan, para ilmuwan masih optimis bahwa suatu hari planet ini dapat diubah menjadi lebih layak huni. Konsep terraforming menjadi salah satu solusi yang dipertimbangkan. Proses ini bertujuan untuk mengubah lingkungan planet agar lebih mirip dengan Bumi. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan menebalkan atmosfer Mars untuk meningkatkan suhu dan mencairkan es yang ada, sehingga menciptakan air cair. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida dapat digunakan untuk meningkatkan efek rumah kaca dan membantu menstabilkan suhu.
Menariknya, penelitian tentang materi organik yang ditemukan di permukaan Mars memberikan petunjuk bahwa planet ini mungkin pernah memiliki senyawa berbasis karbon yang bisa mendukung kehidupan. Temuan ini menjadi sarana penting bagi ilmuwan untuk terus menggali lebih dalam mengenai sejarah planet ini.
Meskipun label “planet mati” cukup akurat untuk menggambarkan keadaan Mars saat ini, planet ini tetap menjadi fokus eksplorasi luar angkasa. Mars menyimpan bukti penting yang bisa memberikan wawasan tentang asal-usul kehidupan dan potensi kehidupan di luar Bumi. Seiring dengan kemajuan teknologi dan peluncuran misi eksplorasi baru, terdapat harapan bahwa suatu hari manusia mungkin dapat menginjakkan kaki di Mars. Dengan ini, Mars yang sekarang terlihat mati dapat kembali hidup, menyimpan misteri yang belum terpecahkan menunggu untuk ditemukan.