Menikah Tak Semudah yang Dibayangkan: Ekspektasi dan Biaya Memusingkan

Menikah bukan sekadar menyatukan dua hati. Persiapan yang matang menjadi kunci penting dalam menyambut hari bahagia tersebut. Namun, bagi banyak pasangan muda, terutama dari kalangan generasi milenial dan Gen Z, pernikahan hadir dengan sejumlah tantangan yang tidak terduga. Riset terbaru dari Populix menunjukkan bahwa ekspektasi orang tua dan biaya pernikahan termasuk dua masalah terbesar yang dihadapi saat ini.

Riset tersebut melibatkan 1.038 responden, di mana mayoritas adalah generasi milenial dan Gen Z. Survei ini menemukan bahwa dari 512 orang yang masih lajang, 70 persen di antaranya berencana untuk menikah. Sementara itu, 526 responden lainnya sudah menggelar pernikahan. Dalam laporan yang berjudul "Pre and Post Wedding: Financial Planning and Management", Populix mengungkapkan bahwa 59 persen calon pengantin mengalami kendala dalam mengatur anggaran. Selain itu, 57 persen merasa terbebani oleh ekspektasi yang ditetapkan orang tua.

Tantangan yang dihadapi oleh pasangan muda tidak hanya berhenti di masalah biaya dan ekspektasi, tetapi juga di beberapa faktor lain, seperti kesulitan dalam mencapai kesepakatan dengan pasangan (46 persen) dan menemukan vendor pernikahan yang sesuai (46 persen). Banyak pasangan juga mengeluhkan kurangnya waktu untuk persiapan yang memadai (38 persen).

Menurut Indah Tanip, VP of Research Populix, masalah biaya dan tekanan dari keluarga ini merupakan isu yang telah ada sebelumnya. "Meskipun ada sedikit penurunan khususnya pada faktor keterbatasan budget, pada dasarnya temuan ini senada dengan data yang kami temukan dua tahun lalu," katanya. Riset terbaru meneliti lebih dari 500 pasangan yang sudah menikah dan mengonfirmasi bahwa keuangan serta ekspektasi keluarga merupakan dua tekanan sosial paling umum yang dirasakan sebelum menikah.

Tekanan sosial ini muncul dari berbagai aspek, antara lain:

  • Dari Keluarga

    • 37 persen merasa harus mencari pasangan yang sesuai harapan keluarga.
    • 33 persen merasa didesak untuk segera menikah.
    • 25 persen merasa terikat dengan tradisi keluarga yang harus diikuti.
  • Dari Segi Finansial dan Karier

    • 35 persen merasa harus mapan secara finansial sebelum menikah.
    • 16 persen terbebani oleh harapan untuk menggelar pesta pernikahan yang mewah.
    • 12 persen merasa perlu menyelesaikan pendidikan atau mencapai karier tertentu lebih dulu.
  • Dari Lingkungan Sekitar
    • 31 persen sering ditanya mengenai rencana menikah oleh kerabat dan teman.
    • 33 persen merasa tertekan karena membandingkan diri dengan teman-teman yang sudah menikah.

Meskipun banyak tekanan yang dihadapi, mayoritas pasangan tetap memilih untuk menikah berdasarkan kesiapan mental dan emosional mereka sendiri, bukan hanya karena tuntutan dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ekspektasi, terutama dari orang tua, bisa menjadi beban yang berat, pada akhirnya, keputusan untuk menikah tetap berada di tangan pasangan itu sendiri.

Di tengah semua tantangan ini, perlu bagi pasangan untuk melakukan perencanaan yang lebih baik. Memiliki komunikasi yang terbuka dan jujur antara pasangan sangat penting, agar kedua belah pihak dapat memahami ekspektasi masing-masing dan mengelola tantangan yang ada. Dengan demikian, harapan untuk menjalani pernikahan yang bahagia dan harmonis bisa tercapai.

Bagi mereka yang sedang merencanakan pernikahan, penting untuk diingat bahwa pernikahan bukan hanya soal merayakan sebuah hubungan, tetapi juga soal membangun kehidupan bersama yang penuh saling pengertian dan dukungan. Melihat pernikahan dari perspektif yang lebih luas akan menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk masa depan.

Berita Terkait

Back to top button