Menteri BKKBN: 331.000 Keluarga di NTT Berisiko Stunting

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) RI, Wihaji, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 331.000 keluarga di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang termasuk dalam kategori Keluarga Risiko Stunting (KRS), yang membutuhkan perhatian seriosa dari pemerintah. Data ini disampaikan oleh Wihaji dalam sebuah kunjungan kerja Gubernur NTT beserta jajaran ke kantor Kemendukbangga di Jakarta Timur pada Rabu, 19 Maret 2025.

Dalam pertemuan tersebut, Wihaji menjelaskan mengenai status sosial ekonomi keluarga di NTT yang memerlukan intervensi untuk menekan angka stunting yang cukup tinggi. “Di NTT saat ini terdapat 769 ribu keluarga, di mana 331 ribu di antaranya merupakan keluarga yang berisiko mengalami stunting,” ungkap Menteri Wihaji. Angka ini mengindikasikan bahwa stunting merupakan masalah serius yang dapat berdampak pada generasi mendatang.

Lebih lanjut, Wihaji menjelaskan bahwa dari 331.000 KRS ini, sebanyak 81.984 keluarga berada dalam kategori miskin ekstrem (desil 1). Ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. “Sebanyak 81 ribu keluarga di NTT masih membutuhkan jamban yang layak, sementara 157 ribu keluarga tidak memiliki jamban. Selain itu, ada 103 ribu keluarga yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak,” lanjutnya.

Tidak hanya soal stunting, dalam pertemuan ini juga dibahas isu bonus demografi di Indonesia. Wihaji mencatat bahwa saat ini proporsi penduduk produktif di tanah air mencapai 70,72%. “Artinya, jika dari 10 orang, ada 6 atau 7 orang yang berada dalam usia produktif. Namun, tantangannya adalah apakah mereka bisa mendapatkan pekerjaan,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa meski angka produktivitas tinggi, ketersediaan lapangan pekerjaan tetap menjadi masalah mendasar yang harus ditangani, termasuk di NTT.

Dalam konteks bonus demografi ini, Menteri Wihaji menekankan pentingnya upaya maksimal untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang produktif. “Kita perlu memastikan bahwa tidak ada yang tersisa, dan semua orang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak,” tambahnya. Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, mengingat tidak semua orang dalam kategori usia produktif dapat menemukan kesempatan kerja yang memadai.

Untuk menanggulangi masalah-masalah ini, Kerjasama antara Kemendukbangga dan Pemerintah Provinsi NTT sangatlah vital. Program-program yang dapat disinergikan, seperti penyediaan akses terhadap fasilitas sanitasi dan air bersih, harus segera dijalankan. Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan dapat melakukan langkah-langkah proaktif dalam memberikan dukungan dan pembuatan kebijakan yang lebih konkret.

Menteri Wihaji juga selain memberikan sambutan, menginformasikan bahwa nomenklatur BKKBN telah berubah menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Perubahan ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi program-program yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan keluarga.

Sebagai langkah lanjutan, penting bagi masyarakat dan pemangku kebijakan untuk bersama-sama menghadapi tantangan-tantangan ini, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi keluarga berisiko stunting dan mendukung mereka untuk keluar dari siklus kemiskinan. Dengan tindakan yang tepat dan kolaboratif, harapan akan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di NTT dan Indonesia pada umumnya masih bisa terwujud.

Exit mobile version