Mereka yang Menolak Lupa: Korban Tes Bom Nuklir AS dan Inggris

NEW YORK – Dalam sebuah pertemuan penting di markas besar PBB bulan ini, sejumlah aktivis dan perwakilan negara-negara Pasifik mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap warisan yang ditinggalkan oleh uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Di antara mereka adalah Oemwa Johnson, seorang pemuda berusia 24 tahun dari Kiribati, yang mengisahkan pengalaman kakeknya mengenai ledakan nuklir yang berlangsung pada tahun 1950-an. Menurut Johnson, warga Kiribati tidak diberikan perlindungan yang memadai saat uji coba tersebut dilakukan di Pulau Kiritimati.

Dampak dari uji coba nuklir yang berlangsung antara akhir 1950-an hingga awal 1960-an ini telah menghantui masyarakat Kiribati hingga saat ini, dengan banyak di antara mereka yang menderita masalah kesehatan serius akibat paparan radiasi. “Kurangnya akuntabilitas terhadap kerugian yang dialami oleh rakyat kami sangat menyedihkan,” ungkap Johnson.

Berdasarkan data dari Pace University International Disarmament Institute, antara tahun 1946 hingga 1996, AS, Inggris, dan Prancis melakukan lebih dari 300 uji coba senjata nuklir di kawasan Pasifik, yang merugikan negara-negara seperti Kiribati, Polinesia Prancis, dan Republik Kepulauan Marshall. Sekarang, negara-negara ini terus berjuang untuk mendapatkan keadilan terkait dampak jangka panjang baik terhadap lingkungan maupun kesehatan.

Pertemuan di PBB bulan ini juga sejalan dengan fokus pada Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW), yang diberlakukan pada tahun 2021 dan telah menarik perhatian 98 negara. Meskipun demikian, banyak negara bersenjata nuklir, termasuk AS dan Inggris, menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut dengan dalih bahwa senjata nuklir penting untuk keamanan nasional mereka.

Beberapa pemimpin kawasan Pasifik, seperti Hinamoeura Morgant-Cross dari Polinesia Prancis, berbagi pengalaman yang memilukan tentang dampak kesehatan dalam keluarganya akibat uji coba nuklir Prancis. “Keluarga saya adalah saksi langsung dari tragedi nuklir ini,” katanya, merujuk pada diagnosa kanker yang menggerogoti keluarganya.

Situasi serupa juga terlihat di Kepulauan Marshall yang, menurut data, menjadi lokasi dari 67 uji coba nuklir yang dilakukan oleh AS pada abad ke-20. Meski Kepulauan Marshall belum bergabung dengan TPNW, pihaknya menyatakan kewaspadaan terhadap potensi pengabaian tanggung jawab hukum oleh AS mengenai dampak dari uji coba tersebut.

Duta Besar Kiribati untuk PBB, Teburoro Tito, menyerukan semua negara anggota untuk menandatangani dan meratifikasi TPNW sebagai langkah menuju keadilan bagi korban uji coba nuklir di Pasifik. “Kami percaya bahwa TPNW adalah cara yang paling efektif dalam menangani dampak penggunaan dan pengujian nuklir,” pesannya tegas.

Selain itu, aktivis seperti Johnson menekankan pentingnya untuk tidak melupakan tragedi yang dialami oleh kawasan Pasifik dan berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran global mengenai bahaya senjata nuklir. “Suara kami bukan hanya sekadar gema dari masa lalu, tetapi juga sebuah peringatan penting untuk masa depan kita,” tuturnya.

Pertemuan di New York ini menunjukkan adanya dorongan yang semakin kuat dari negara-negara Pasifik dan aktivis untuk mendesak negara-negara besar agar mempertimbangkan kembali kebijakan mereka terhadap senjata nuklir. Dalam konteks meningkatnya ketegangan global, suara dari masyarakat yang menjadi korban uji coba nuklir harus lebih didengarkan dan menjadi faktor pertimbangan dalam pembentukan kebijakan internasional yang berfokus pada perdamaian dan keadilan.

Berita Terkait

Back to top button