
Tentara Israel kini berada dalam “posisi terburuknya” untuk menghadapi Hamas, terutama di tengah situasi gencatan senjata yang sedang berlangsung di Gaza. Pernyataan ini disampaikan oleh sumber militer Israel pada Senin, 17 Maret 2025. Menurut laporan tersebut, ketidakaktifan militer Israel dalam melakukan operasi tempur selama dua minggu terakhir telah memberikan kesempatan bagi Hamas untuk membangun kembali kemampuan militernya dan mempersiapkan diri untuk pertempuran mendatang.
Sumber yang sama menyebutkan bahwa saat ini, Hamas sedang memperkuat garis pertahanan dan meningkatkan persenjataannya di tengah kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku sejak 19 Januari. “Dengan tidak ada operasi yang efektif dilakukan oleh Tentara Israel, Hamas mendapatkan waktu untuk mempersenjatai diri dan mungkin melakukan serangan mendatang,” ungkap sumber tersebut.
Sebagai bagian dari gencatan senjata dan pertukaran tahanan, Israel menghentikan kampanye militer yang telah menewaskan lebih dari 48.500 orang di Gaza. Perjanjian tersebut pada awal Maret memasuki fase pertama, namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak untuk melanjutkan negosiasi untuk fase kedua dan lebih memilih untuk memperpanjang fase pertama. Hal ini menyebabkan ketegangan antara kedua belah pihak, di mana Hamas menolak untuk menerima syarat-syarat dari Israel dan mendesak agar ketentuan gencatan senjata dijalankan.
Gencatan senjata ini tidak hanya terfokus pada penghentian tembakan, tetapi juga mencakup penarikan penuh militer Israel dari Gaza dan penghentian total perang. Namun, Netanyahu menganggap bahwa melanjutkan gencatan senjata tanpa membebaskan tawanan yang ditahan di tangan Hamas tidak akan menyelesaikan masalah. “Melanjutkan gencatan senjata tanpa membebaskan tawanan Israel tidak akan meringankan penderitaan, tetapi justru memberi kesempatan kepada Hamas untuk memperkuat posisinya,” tegas sumber tersebut.
Di pihak lainnya, para pemimpin Hamas menunjukkan keberanian untuk melanjutkan negosiasi dalam konteks syarat yang lebih menguntungkan, termasuk penarikan Israel dari Gaza. Ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak masih terjebak dalam kebuntuan, yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan tersebut.
Untuk memperkuat posisi militernya, Tentara Israel mungkin perlu merencanakan operasi berskala besar yang bisa melibatkan invasi darat serta memanggil kembali puluhan ribu tentara cadangan. Namun, dengan kondisi saat ini, langkah tersebut bisa menambah ketidakpastian di kawasan yang sudah tegang.
Krisis kemanusiaan di Gaza tidak dapat diabaikan, dan banyak pihak mendesak untuk segera menemukan solusi damai guna mengurangi penderitaan rakyat sipil. Sementara itu, dengan situasi yang terus meningkat, Israel dihadapkan pada tantangan berat dalam menjaga keamanan, sekaligus memenuhi tuntutan untuk dialog diplomatik yang lebih konstruktif.
Menghadapi situasi ini, analisis strategis mengenai langkah-langkah yang harus diambil selanjutnya menjadi sangat penting. Pertanyaan besar yang terus mengemuka adalah, bagaimana Israel akan mengelola keamanan nasionalnya tanpa memberikan ruang bagi Hamas untuk memperluas kekuatannya? Ini menjadi tantangan yang harus ditangani oleh pihak Israel dalam waktu dekat.