
Dalam sebuah penelitian terbaru, para ilmuwan mengungkapkan kemungkinan keberadaan halo materi gelap yang tidak pernah membentuk galaksi. Penelitian ini menantang pandangan tradisional tentang hubungan antara galaksi dan halo materi gelap, yang selama ini dianggap sebagai struktur penting dalam pembentukan galaksi melalui gravitasi. Ethan Nadler, seorang astrofisikawan dari University of California, San Diego, menggali lebih dalam pertanyaan ini dengan bertanya: apakah mungkin ada halo materi gelap yang tidak pernah menghasilkan bintang atau galaksi?
Secara konvensional, ilmu kosmologi berargumen bahwa gas dan debu harus berkumpul di dalam “sumur gravitasi” dari materi gelap untuk membentuk bintang dan galaksi. Namun, Nadler berpendapat bahwa tidak semua halo materi gelap mungkin memiliki kemampuan untuk memicu proses pembentukan bintang. “Kita tahu bahwa setiap galaksi yang pernah kita amati berada di dalam halo materi gelap. Tapi kita belum tahu apakah ada halo gelap sepenuhnya — halo yang tak pernah membentuk bintang,” ujarnya.
Dalam teori sebelumnya, para ilmuwan percaya bahwa hanya halo dengan massa antara 100 juta hingga 1 miliar kali massa Matahari yang mampu membentuk bintang. Penelitian Nadler mengindikasikan bahwa batas bawah massa untuk halo yang dapat menghasilkan bintang mungkin lebih rendah, sekitar 1 juta massa Matahari. Ini terutama dipengaruhi oleh pendinginan gas yang terjadi melalui molekul hidrogen, bukan hanya atom hidrogen tunggal, seperti yang ditentukan oleh model-model sebelumnya.
Meskipun beberapa halo kecil mungkin berhasil membentuk bintang, banyak di antaranya berpotensi terganggu oleh radiasi dari galaksi yang lebih besar dan terang, yang bisa menghentikan proses pembentukan bintang tersebut. Jika hipotesis ini benar, maka kemungkinan besar banyak halo kecil yang tidak mengandung bintang dan bisa jadi lebih banyak daripada yang diperkirakan sebelumnya. “Secara teori, model kosmologi memprediksi jumlah halo kecil jauh lebih banyak daripada halo besar. Jadi masuk akal jika banyak di antaranya adalah halo gelap,” jelas Nadler.
Keberadaan materi gelap itu sendiri sulit dipahami. Diperkirakan bahwa materi gelap menyumbang sekitar 85% dari total massa alam semesta, yang lima kali lebih banyak daripada materi biasa yang terdiri dari bintang, planet, dan makhluk hidup. Untuk mendeteksi halo materi gelap yang tidak memiliki galaksi di pusatnya, efek pelensaan gravitasi menurut teori relativitas umum Einstein akan digunakan. Ketika cahaya dari objek jauh melewati massa halo, jalur cahayanya dapat dibelokkan, memungkinkan peneliti mengamati efek tersebut meskipun tidak melihat objek langsung.
Teknologi astronomi modern juga mulai mendukung pencarian halo gelap ini. Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) telah mampu mendeteksi halo kecil dengan massa sekitar 10 juta kali Matahari, sementara Rubin Observatory yang akan segera beroperasi diperkirakan dapat mengidentifikasi ribuan kasus pelensaan gravitasi yang kuat.
Penemuan maupun ketiadaan halo materi gelap dengan karakteristik ini akan memiliki implikasi besar bagi teori kosmologi yang ada. Jika studi Nadler menunjukkan bahwa halo gelap melimpah, ini akan menguatkan model kosmologi Lambda Cold Dark Matter (ΛCDM) yang adalah dasar bagi pemahaman kita tentang struktur alam semesta. Sebaliknya, jika halo-halo kecil tersebut tidak ada, maka model ini bisa perlu diperintah ulang, memicu penelitian lebih lanjut tentang alternatif seperti materi gelap hangat atau fuzzy.
Dengan demikian, peneliti berharap bahwa peta distribusi halo materi gelap, baik yang memiliki galaksi maupun yang tidak, akan menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana galaksi terbentuk dan bagaimana materi gelap berfungsi dalam skala kosmik. Penelitian ini membuka jalan bagi penemuan baru yang dapat mengubah cara kita memahami alam semesta dan tempat kita di dalamnya.