
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada hari Jumat, 4 April 2025, secara resmi mencopot Yoon Suk Yeol dari jabatannya sebagai Presiden Republik Korea. Keputusan bersejarah ini menjadikannya presiden pertama di negara tersebut yang dipecat dari posisinya. Pemakzulan ini terkait dengan keputusan kontroversial Yoon yang mengumumkan kebijakan darurat militer pada Desember 2024.
Dalam siaran langsung yang dipandu oleh penjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, Moon Hyung-bae, keputusan tersebut dibacakan dan langsung berlaku. Menindaklanjuti keputusan ini, Korea Selatan diwajibkan untuk melaksanakan pemilihan presiden baru dalam waktu 60 hari untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Yoon.
Awal mula pemakzulan ini berasal dari tindakan Yoon yang dilakukan pada 3 Desember 2024, ketika ia mengumumkan darurat militer. Ia dituduh melanggar konstitusi dan hukum dengan mengerahkan pasukan ke gedung parlemen untuk menghalau penolakan anggota legislatif terhadap kebijakannya serta memerintahkan penangkapan politisi yang menentangnya. Meski Yoon membantah semua tuduhan yang diarahkan kepadanya, Majelis Nasional yang didominasi oleh oposisi memutuskan untuk memakzulnya.
Proses pemakzulan Yoon berlangsung selama lebih dari tiga bulan, di mana ia sempat dinonaktifkan dari jabatannya hingga Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan terakhir. Setelah memberikan kesempatan bagi Yoon untuk melakukan pembelaan, Mahkamah Konstitusi akhirnya menguatkan pemakzulan tersebut dengan suara bulat dari semua hakim. “Dengan ini kami mengumumkan putusan berikut, dengan persetujuan bulat dari semua Hakim. (Kami) memberhentikan terdakwa Presiden Yoon Suk Yeol,” ungkap Moon Hyung-bae dalam sidang pembacaan putusan.
Keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi tidak hanya berimplikasi politik, tetapi juga sosial di Korea Selatan. Sebelum putusan diumumkan, ribuan petugas kepolisian dikerahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Langkah ini diambil sebagai antisipasi terhadap kemungkinan demonstrasi dari pendukung maupun penentang Yoon. Situasi ini mencerminkan betapa mendalamnya ketegangan politik yang melanda negara tersebut.
Yoon Suk Yeol, yang sebelumnya menjabat sebagai jaksa jenderal, terpilih sebagai presiden pada tahun 2022 dengan harapan membawa perubahan dalam pemerintahan Korea Selatan. Namun, kebijakan darurat militer yang diambilnya sangat kontroversial dan menjadi titik balik yang memicu protes luas. Pengumuman pemakzulan ini menciptakan dampak langsung pada stabilitas politik dan sosial, serta menimbulkan kekhawatiran di kalangan rakyat.
Salah satu dampak dari pemakzulan ini adalah munculnya kekosongan kekuasaan yang harus segera diisi melalui pemilihan presiden yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Banyak pengamat politik menyatakan bahwa pemilihan mendatang akan menjadi ujian bagi demokrasi Korea Selatan, seiring dengan meningkatnya partisipasi publik dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah sebelumnya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengakhiri masa jabatan Yoon ini menunjukkan bahwa tidak ada siapapun yang kebal terhadap hukum di Korea Selatan. Hal ini juga membuktikan komitmen negara tersebut terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang adil. Proses hukum yang berjalan dengan transparan dan keterbukaan menjadikan keputusan ini lebih mudah diterima oleh publik, meskipun masih terdapat pendapat yang berbeda mengenai dampaknya terhadap masa depan politik Korea Selatan.
Dalam beberapa hari ke depan, masyarakat akan menantikan perkembangan terbaru dari pemilihan presiden yang akan datang, serta bagaimana partai-partai politik akan merespon situasi ini. Semua mata kini tertuju pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh pemimpin baru yang akan lahir dari proses demokrasi ini.