
Negara-negara anggota NATO, khususnya Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia, berencana untuk menarik diri dari Konvensi Ottawa yang melarang ranjau darat. Langkah ini diambil seiring dengan meningkatnya ketegangan dan kekhawatiran tentang potensi ancaman militer Rusia terhadap negara-negara tersebut yang terletak di perbatasan dengan Rusia. Dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis pada hari Selasa, menteri pertahanan dari keempat negara tersebut menegaskan perlunya memberikan fleksibilitas kepada pasukan pertahanan dalam menghadapi situasi keamanan yang semakin menantang.
Penarikan ini menyusul rekomendasi bulat dari menteri pertahanan negara-negara Baltik dan Polandia. Mereka menyatakan bahwa dalam kondisi keamanan saat ini, penting bagi negara-negara anggota untuk memiliki kemampuan untuk menggunakan sistem dan solusi persenjataan baru demi memperkuat pertahanan di sisi timur aliansi, yang dianggap lebih rentan.
Perdana Menteri Latvia, Evika Silina, mengemukakan bahwa rancangan penarikan ini akan disampaikan ke parlemen untuk mendapatkan keputusan akhir dalam waktu dekat. “Keputusan ini akan memberikan Angkatan Bersenjata Nasional kami kemampuan tambahan dalam hal pembelian dan penggunaan persenjataan,” ujarnya. Silina juga mencatat bahwa Latvia berencana untuk memproduksi ranjau sebagai bagian dari strategi industri militer mereka.
Menteri Pertahanan Latvia, Andris Spruds, menambahkan bahwa keputusan ini merupakan langkah signifikan untuk membangun “garis pertahanan Baltik bersama.” Ia menekankan pentingnya memberikan kesempatan untuk memperkuat pertahanan keamanan. Lithuania pun menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan produksi bahan peledak, dengan Kepala Pertahanan Raimundas Vaiksnoras menyebutkan bahwa diskusi tentang kapasitas produksi domestik telah berlangsung sejak awal invasi Rusia ke Ukraina.
Keputusan yang diambil oleh negara-negara Baltik ini juga mengirimkan sinyal kuat kepada negara-negara lain mengenai kesungguhan mereka dalam upaya pencegahan dan pertahanan perbatasan. “Kami tidak akan menjadi negara pertama atau terakhir yang meninggalkan Konvensi,” kata Perdana Menteri Latvia, menunjukkan bahwa langkah ini bisa jadi diikuti oleh negara-negara lain dalam aliansi NATO, termasuk Finlandia yang juga mempertimbangkan untuk mundur dari perjanjian serupa.
Konvensi Ottawa, yang ditandatangani pada tahun 1997, melarang produksi, kepemilikan, dan transfer ranjau antipersonel. Meskipun lebih dari 160 negara dan wilayah merupakan penanda tangan konvensi ini, negara-negara seperti Rusia dan Amerika Serikat tidak terikat oleh perjanjian tersebut. Ranua antipersonel dirancang untuk disembunyikan di bawah tanah dan telah menyebabkan banyak korban jiwa, baik di kalangan militer maupun warga sipil, sering kali berlangsung lama setelah konflik berakhir.
Situasi ini menyoroti ketegangan yang semakin meningkat di kawasan Eropa Timur, di mana Rusia dianggap sebagai ancaman yang terus membayangi keamanan negara-negara di sekitarnya. Dalam konteks ini, negara-negara anggota NATO berusaha untuk beradaptasi dengan dinamika keamanan yang berubah, menyadari bahwa langkah-langkah defensif yang lebih kuat diperlukan untuk melindungi perbatasan mereka.
Dengan pertimbangan serius terhadap kondisi militer dan ancaman dari Rusia, langkah mundur dari Konvensi Ottawa oleh beberapa negara anggota NATO bisa menjadi titik awal bagi perubahan besar dalam kebijakan pertahanan di kawasan tersebut. Hal ini menandakan bahwa Negara-negara NATO membangun strategi baru yang mungkin memerlukan peninjauan kembali atas komitmen yang ada dalam kerangka internasional.