
Neraca perdagangan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami defisit yang mengkhawatirkan, mencapai Rp51 triliun pada tahun 2024. Defisit ini diakibatkan oleh ketergantungan yang tinggi terhadap barang-barang dari luar daerah. Kepala Bank Indonesia Perwakilan NTT, Agus Sistyo Widjajati, menjelaskan bahwa nilai ekspor NTT tercatat sebesar Rp7,93 triliun, sementara pembelian produk dari luar NTT mencapai Rp59 triliun. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang signifikan dalam perdagangan luar negeri provinsi tersebut.
Dalam wawancaranya di Kupang, Agus Sistyo membandingkan situasi NTT dengan kondisi yang terjadi di Amerika Serikat, di mana defisit anggaran tercatat sebesar US$1,2 triliun. Dia menekankan bahwa NTT berada dalam situasi yang serupa, di mana perdagangan provinsi ini berpotensi menjadi pasar bagi provinsi lain jika tidak ada tindakan lanjut.
“Kita harus memutuskan apakah kita akan terus menjadi pasar bagi daerah lain atau mulai membangun NTT sesuai dengan slogan ‘Ayo Membangun NTT’,” kata Agus. Dia menekankan pentingnya sinergi dalam menciptakan produk lokal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Saat ini, sekitar 30% dari sektor usaha di NTT masih bergantung pada pertanian, namun potensi ini belum dimaksimalkan. Usaha pertanian mayoritas masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Di samping sektor pertanian, NTT memiliki potensi wisata yang besar, tetapi belum dikelola secara optimal. Banyak warga NTT yang justru memilih untuk berwisata ke luar daerah, mencerminkan kurangnya daya tarik pariwisata lokal. “Bagaimana kita bisa mengembangkan daerah jika justru masyarakatnya berwisata keluar NTT?” ungkap Agus.
Investasi juga menjadi sorotan Agus, terutama dalam sektor pertanian, peternakan, dan pariwisata. Potensi kawasan ini terbuka lebar, tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal. Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengumumkan bahwa pemerintah telah menyiapkan beberapa program untuk mengatasi defisit perdagangan yang mencolok. Salah satunya adalah mendorong masyarakat agar menggunakan produk lokal, terutama air mineral yang diproduksi di NTT.
Menurut penghitungan yang dilakukan, masyarakat NTT menghabiskan anggaran sekitar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun per tahun untuk konsumsi air mineral. Namun, dari jumlah tersebut, permintaan terhadap air mineral produksi NTT sangat minim, hanya sekitar Rp50 miliar. “Kami berharap, dengan terlebih dahulu mengganti air mineral dari luar daerah ke produk lokal, kita dapat memberikan penghormatan kepada produk NTT sekaligus mengurangi defisit perdagangan kita,” ujar Gubernur.
Saat ini, di ruangan gubernur dan wakil gubernur telah disiapkan air mineral lokal sebagai langkah nyata dalam mendukung program substitusi produk daerah. “Ini bagian dari usaha kita untuk mengurangi defisit neraca perdagangan,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, defisit perdagangan yang dialami NTT mencerminkan tantangan yang lebih besar terkait ketahanan ekonomi dan pengembangan sektor-sektor yang dapat meningkatkan daya saing lokal. Penguatan sektor pertanian dan pengembangan potensi wisata merupakan langkah penting yang perlu diambil agar NTT tidak hanya menjadi pasar bagi produk luar, tetapi juga mampu menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas.
Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan langkah strategis dan kolaborasi yang baik, diharapkan NTT dapat mengatasi defisit perdagangan dan menuju kemandirian ekonomi yang lebih baik di masa yang akan datang.