Nilai Tukar Rupiah Anjlok ke Rp 16.590 Per Dolar AS: Apa Penyebabnya?

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami anjlok yang signifikan, mencapai Rp 16.590 per dolar AS pada Selasa sore, 25 Maret 2025. Ini merupakan posisi terendah yang dicatatkan sejak krisis finansial Asia tahun 1998. Penurunan ini menambah dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap pasar saham domestik, yang tercermin dalam indeks harga saham gabungan (IHSG) yang juga mengalami penurunan.

Menurut informasi dari Bloomberg, rupiah terdepresiasi sebesar 42,5 poin atau 0,26% menjadi Rp 16.610 per dolar AS. Sementara itu, data dari Yahoofinance menunjukkan penguatan dolar dan pelemahan yang lebih jauh pada rupiah.

Ariston Tjendra, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa sentimen negatif dari investor terhadap pasar saham domestik menjadi salah satu penyebab utama pelemahan rupiah. “Pesimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional tercermin dari pergerakan indeks BEI,” ungkapnya.

Fakta menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2025, IHSG telah mengalami koreksi yang cukup dalam. Dari posisi awal 7.164 pada 2 Januari, indeks tersebut kini jatuh ke level 6.161,22, mencatatkan penurunan sebesar 931,21 poin atau 13,13% year to date (YTD). Dengan kondisi ini, kekhawatiran akan stagnasi ekonomi semakin membebani psikologis pasar.

Selain itu, indeks dolar AS juga mengalami kenaikan ke kisaran 104,30, yang berimbas pada penguatan nilai dolar terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah. Banyak pelaku pasar mencermati kebijakan terbaru dari Presiden AS, Donald Trump, yang akan memberlakukan kenaikan tarif pada 2 April mendatang. Kebijakan ini menciptakan ketidakpastian di pasar global, terutama di sektor perdagangan internasional.

Menghadapi situasi ini, nilai tukar rupiah diperkirakan akan tetap berfluktuasi di kisaran Rp 16.590 hingga Rp 16.600 per dolar AS dalam jangka pendek. Ariston juga mencatat bahwa level support untuk rupiah saat ini berada di sekitar Rp 16.500 per dolar AS, menandakan batas bawah yang mungkin akan diuji jika tekanan berlanjut.

Kekhawatiran akan dampak negatif dari situasi ini juga memperkuat sikap hati-hati di kalangan pelaku bisnis dan investor yang memilih untuk menunggu kepastian lebih lanjut mengenai perkembangan politik dan ekonomi, baik di dalam negeri maupun global. Titaniknya sejumlah data ekonomi semakin mengonfirmasi keraguan tersebut, membentuk gambaran pesimis terhadap kondisi pasar di Indonesia.

Situasi ini memaksa pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia, untuk mencari strategi mengatasi tekanan yang terus berulang. Respons kebijakan ini menjadi krusial dalam memperoleh kembali kepercayaan investor serta mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka panjang.

Secara keseluruhan, perjalanan nilai tukar rupiah menuju stabilitas dipenuhi dengan tantangan yang kompleks. Dengan latar belakang ketidakpastian global, saham domestik yang merosot, dan kebijakan luar negeri yang membebani, pelaku pasar perlu tetap waspada dan terinformasi untuk menghadapi fluktuasi yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Berita Terkait

Back to top button