Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan pada pagi hari ini, Senin (3/2/2025). Berdasarkan data dari Bloomberg yang diakses pada pukul 09.22 WIB, rupiah diperdagangkan pada level Rp 16.451 per dolar AS, mengalami pelemahan sebesar 147 poin atau setara dengan 0,90%. Ini merupakan kelanjutan dari tren penurunan yang terjadi sejak akhir pekan lalu.
Pada Jumat (31/1/2025), rupiah pun mencatatkan penurunan dengan nilai tukar yang berada di angka Rp 16.289 per dolar AS, mengalami penurunan sebesar 42 poin atau 0,26%. Tekanan pada nilai tukar rupiah ini menunjukkan kerentanan mata uang lokal di tengah ketidakpastian pasar global, yang semakin dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi.
Selain nilai tukar rupiah, kondisi di pasar saham Indonesia juga tidak kalah mencolok. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka dengan penurunan tajam lebih dari 1% pada hari yang sama. Data mencatat bahwa IHSG turun sebesar 79,277 poin atau 1,12%, berada pada level 7.029,919. Dalam sesi awal perdagangan, terlihat dinamika pergerakan saham yang cukup signifikan, dengan 123 saham mengalami penguatan, sedangkan 276 saham lainnya melemah dan 197 saham berada pada posisi stagnan.
Terdapat beberapa sektor yang berdampak langsung akibat penurunan nilai tukar dan IHSG. Salah satu yang paling terpukul adalah sektor properti, yang mengalami penurunan terdalam hingga sebanyak 2,42%. Sektor kesehatan menyusul dengan penurunan 1,20%, sedangkan sektor bahan baku juga tercatat melemah dengan penurunan sebesar 1,03%.
Kondisi ini mengisyaratkan adanya kekhawatiran di kalangan investor, bahwa pelemahan rupiah akan berdampak pada profitabilitas perusahaan-perusahaan yang secara signifikan terlibat dalam perdagangan internasional. Pihak pengamat ekonomi memberikan perhatian khusus pada bagaimana fluktuasi nilai tukar ini bisa memengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat.
Dalam survey terbaru, beberapa analis memprediksi bahwa pelemahan rupiah masih akan berlangsung dalam waktu dekat, mengingat siklus pemulihan ekonomi global yang masih belum stabil. Selain itu, kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia juga akan sangat berpengaruh terhadap gerakan nilai tukar ini dalam beberapa waktu mendatang.
Di samping itu, faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga di negara-negara maju dan ketegangan geopolitik juga menjadi penyebab utama yang memperburuk situasi ekonomi domestik. Investor asing mungkin akan mulai menarik investasi mereka dari pasar Indonesia, yang dapat menambah tekanan pada mata uang rupiah dan bursa saham.
Ke depan, penguatan dolar AS masih menjadi ancaman bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat dari para pembuat kebijakan dan pelaku pasar guna meredam dampak negatif ini. Banyak pihak berharap bahwa kerjasama antara pemerintah dan Bank Indonesia dapat memberikan kepercayaan lebih kepada investor dan masyarakat sehingga dapat mengurangi ketidakpastian di pasar.
Dengan kondisi yang ada, masyarakat dan pelaku bisnis disarankan untuk tetap waspada dan mengikuti perkembangan terkini di pasar. Fluktuasi nilai tukar tidak hanya akan mempengaruhi transaksi perdagangan, tetapi juga berpotensi berimbas pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, langkah-langkah yang cepat dan efektif diperlukan untuk menghadapi tantangan ini.