Jakarta, Podme.id – Kejadian tragis kembali menyelimuti Papua setelah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan aksi brutal yang menewaskan enam guru dan tenaga kesehatan (nakes) di Distrik Anggruk, Yahukimo. Penyerangan yang terjadi pada 22 Maret 2025 ini menuai kecaman luas dan dianggap sebagai bentuk terorisme yang melanggar hak asasi manusia. Laporan dari kasus ini menunjukkan bahwa OPM bukan hanya membunuh korban, tetapi juga membakar empat sekolah di sekitarnya, mengakibatkan kehampaan di bidang pendidikan di daerah tersebut.
Pakar keamanan Khairul Fahmi, yang merupakan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menggarisbawahi dampak dari tindakan OPM ini, di mana selain merenggut nyawa, aksi tersebut juga menghancurkan harapan masyarakat Papua untuk memperoleh pendidikan. “Kita bukan hanya berbicara tentang kehilangan nyawa, tetapi juga tentang masa depan generasi muda Papua yang mendapatkan pendidikan,” ujarnya. Fahmi menekankan bahwa tindakan brutal OPM adalah serangan terhadap hak asasi manusia dan menantang kehadiran negara dalam sektor yang paling mendasar, yaitu pendidikan.
Fahmi merisaukan sikap OPM yang mengekspresikan berbagai tuduhan, termasuk menyebut para guru dan nakes sebagai mata-mata. “Ini pola lama yang terus diulang—tuduhan yang digunakan untuk membenarkan kekerasan. Mereka menebar ketakutan dan memperkuat posisi mereka di tengah masyarakat yang sudah lama dilanda krisis kepercayaan,” ujarnya. Menurutnya, tidak ada justifikasi untuk membunuh warga sipil, apalagi yang secara sukarela memberikan pelayanan kemanusiaan.
Kehadiran OPM dengan tuduhan sepihak ini semakin menunjukkan kekacauan yang ada di Papua. Fahmi menyoroti bahwa pandangan masyarakat terhadap konflik sering kali tidak proporsional, di mana negara sering kali dicap sebagai pelaku utama kekerasan sementara brutalitas OPM dianggap sebagai ekspresi perlawanan. “Kekerasan terhadap warga sipil tetaplah pelanggaran HAM, terlepas dari siapa pelakunya,” tegasnya.
Pemerintah dan TNI dihadapkan pada tantangan besar untuk menangani situasi ini. Fahmi mengingatkan bahwa sudah saatnya pendekatan keamanan di Papua dievaluasi secara mendalam. “Polisi perlu lebih fokus pada perlindungan masyarakat, memelihara keamanan serta menegakkan hukum,” jelasnya. Ia juga menekankan perlunya TNI untuk menangani kelompok separatis dengan pendekatan yang terukur dan profesional, sesuai dengan ketentuan UU.
Sementara itu, OPM mengklaim bertanggung jawab atas aksi keji ini, di mana pemimpin TPNPB-OPM Kodap XVI Yahukimo, Elkius Kobak, memerintahkan para anggotanya untuk menargetkan guru dan nakes sebagai bentuk protes terhadap keberadaan militer Indonesia. OPM beralasan bahwa tindakan brutal ini merupakan reaksi terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman dari pihak militer yang menyamar.
Dalam konteks yang lebih luas, insiden ini tidak hanya mempengaruhi korban di Yahukimo, tetapi juga menambah daftar panjang kekerasan yang terjadi di Papua. Pengamat menilai bahwa tanpa adanya tindakan tegas dari aparat keamanan, kondisi ini bisa semakin memburuk, mengancam stabilitas sosial dan pembangunan masyarakat di sana. Oleh karena itu, tuntutan untuk sebuah pendekatan yang lebih manusiawi dan profesional dari semua pihak semakin mendesak, terutama dalam penanggulangan kekerasan yang merugikan rakyat sipil.