Otoritas Gereja Palestina: Israel Usaha Jauhkan Al Aqsa dari Umat

Otoritas Gereja Palestina baru-baru ini mengekspresikan kecaman yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah Israel yang membatasi akses umat Islam ke Masjid Al Aqsa selama bulan Ramadhan 2025. Tindakan tersebut dipandang sebagai upaya untuk menciptakan realitas baru di salah satu tempat suci terpenting bagi umat Islam tersebut. Dalam konteks ini, perhatian masyarakat internasional kembali tertuju pada isu kebebasan beribadah dan hak asasi manusia di wilayah yang tengah mengalami ketegangan ini.

Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Komite Tinggi Kepresidenan Palestina untuk Urusan Gereja, keputusan Israel untuk membatasi jumlah jemaah yang bisa hadir di Masjid Al Aqsa disertai oleh tindakan represif lainnya, seperti pengusiran. Komite menyatakan bahwa tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengosongkan Masjid Al Aqsa dari umat Islam dan menjauhkan tempat suci tersebut dari komunitas Palestina. Mengingat posisi strategis Masjid Al Aqsa dalam tradisi Islam, langkah ini dinilai sangat mengancam akses dan keberadaan umat Islam di Yerusalem.

Dalam penilaian mereka, otoritas gereja menekankan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari proyek Yahudisasi yang lebih luas terhadap Yerusalem dan situs-situs suci lainnya di daerah tersebut. Ini mempertegas kekhawatiran yang telah lama ada mengenai upaya sistematis untuk mengubah demografi wilayah dan mengurangi keberadaan Muslim di dalamnya.

Inisiatif pemantauan dan penolakan tindakan tersebut tidak hanya terbatas pada otoritas gereja. Komite juga mendesak negara-negara Arab dan Muslim, serta lembaga-lembaga internasional dan gereja-gereja di seluruh dunia, untuk bertindak lebih tegas. Mereka menginginkan dukungan dalam menghentikan agresi ini dan menjaga hak rakyat Palestina serta melindungi masa depan tempat-tempat suci mereka. Perlunya kolaborasi internasional dalam menangani isu ini semakin mendesak, mengingat dampaknya yang luas terhadap stabilitas kawasan.

Setiap tahun selama bulan Ramadhan, kebijakan pembatasan akses ke Masjid Al Aqsa cenderung diperketat oleh otoritas Israel. Pada tahun ini, hanya 10.000 warga Palestina dari Tepi Barat yang diberikan izin untuk memasuki Masjid Al Aqsa, dan hanya diperbolehkan bagi laki-laki berusia 55 tahun ke atas serta perempuan berusia 50 tahun ke atas. Pembatasan ini jelas merugikan banyak umat Islam yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah di tempat suci mereka. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan sistemik terhadap umat Islam di wilayah tersebut.

Lebih lanjut, laporan dari stasiun televisi Israel KAN menyebutkan bahwa batasan akses juga diberlakukan kepada tahanan Palestina yang baru dibebaskan dari penjara Israel. Mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki Masjid Al Aqsa, menambah daftar panjang larangan yang dialami oleh publik Palestinian dalam konteks beribadah.

Sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah pengamat, situasi ini memperlihatkan kebutuhan mendesak untuk intervensi dari komunitas internasional agar tindakan represif yang dilayangkan oleh Israel terhadap umat Islam dihentikan. Ada kekhawatiran bahwa jika dibiarkan, praktik serupa dapat terus berlanjut, mengancam hak atas kebebasan beribadah dan eksistensi komunitas Muslim di Yerusalem.

Dalam rangka menghadapi tantangan ini, suara dari masyarakat internasional, baik berupa sanksi maupun diplomasi, bisa menjadi alat penting untuk mengatasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkepanjangan di wilayah tersebut. Seiring dengan berjalannya Ramadhan, harapan akan terciptanya suasana damai dan keberagaman di Masjid Al Aqsa semakin diperlukan, agar tempat ibadah ini tetap menjadi simbol persatuan dan ketaatan bagi seluruh umat Islam di dunia.

Exit mobile version