Indonesia

Pagar Laut Tangerang: Langkah Awal Menuju Reklamasi Berkelanjutan

Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana, menyatakan bahwa keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang menunjukkan langkah awal dalam proses reklamasi. Penemuan ini didasarkan pada informasi dari nelayan setempat dan hasil penelusuran oleh KIARA yang dilakukan sejak tahun 2023. Menurut Erwin, upaya pemagaran laut ini diduga dimaksudkan untuk mengklaim lahan di atas laut sebelum penimbunan yang akan dilakukan sebagai bagian dari reklamasi.

Dalam dialog INTERUPSI yang disiarkan oleh iNews pada 23 Januari 2025, Erwin merinci hasil penelusuran KIARA yang menunjukkan bahwa luas lahan yang diklaim mencapai 515 hektare. Hal ini berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh Menteri, yang memperkirakan luas lahan hanya sekitar 100 hektare. “Dari hasil di situs buminya ATR/BPN, itu sebetulnya ada kurang lebih 500 hektare,” ungkap Erwin, yang menambahkan bahwa proses reklamasi ini bukan hal baru di Tangerang.

Dilihat dari situs Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan peta garis pantai dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Erwin menjelaskan bahwa wilayah yang ditandai dengan pagar tersebut memang memiliki potensi untuk dijadikan daratan melalui proses reklamasi. “Proses ini sering kali melibatkan perusahaan atau pihak tertentu yang berupaya mendapatkan lahan,” tuturnya.

Fenomena pagar laut ini juga dapat terkait dengan sejarah lahan yang sebelumnya tenggelam akibat faktor alam, termasuk sedimentasi. Erwin mengemukakan kemungkinan bahwa pagar tersebut dapat berfungsi sebagai bukti adanya daratan yang pernah ada di lokasi tersebut. “Ini mengindikasikan bahwa mungkin ada lahan yang sebelumnya tenggelam dan kini dicoba untuk direklamasi kembali,” ujarnya.

Penting untuk dicatat bahwa peta Hak Guna Bangunan (HGB) yang ada menunjukkan bahwa wilayah ini telah direncanakan dalam tata ruang Provinsi Banten yang dipublikasikan pada Maret 2023. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut, kawasan yang saat ini masih berupa laut telah diidentifikasi sebagai daerah yang diharapkan menjadi daratan ke depannya.

Proses reklamasi sering sekali menjadi titik panas dalam diskusi tata ruang dan pelestarian lingkungan. Banyak pihak, termasuk organisasi non-pemerintah, mempertanyakan dampak ekologis yang ditimbulkan oleh reklamasi laut. Mereka khawatir bahwa proyek semacam ini dapat mengganggu keseimbangan ekosistem laut dan merugikan nelayan lokal yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka.

Pagar laut ini, yang tingginya mencapai beberapa meter, bukan hanya sekadar batas fisik. Pagar ini juga menjadi simbol dari ambisi pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Menurut Erwin, klaim lahan di atas laut sebelum penimbunan adalah praktik umum yang dilakukan pelaku usaha.

Dari sudut pandang hukum dan tata ruang, tindakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lahan. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua langkah reklamasi dilakukan dengan memberikan akses kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan.

Sebagai penutup, upaya reklamasi di Tangerang ini mencerminkan dinamika antara kebutuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Pihak-pihak yang terlibat harus berupaya mencapai titik temu agar strategi pembangunan dapat berjalan tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem laut yang kaya. Dalam hal ini, masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lokal memiliki peran penting dalam mengawasi setiap langkah yang diambil dalam proses reklamasi yang sedang berlangsung.

Siti Aisyah

Siti Aisyah adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button