Pelemahan Rupiah dan IHSG Diprediksi Berlanjut, Apa Sebabnya?

Pelemahan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan terakhir diperkirakan akan berlanjut pada pekan mendatang. Prediksi ini mencerminkan antisipasi pasar terhadap kebijakan terbaru yang segera diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump Jr. Kebijakan yang bersifat inward looking tersebut berpotensi memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia.

Menurut analis pasar uang Ariston Tjendra, tidak hanya rupiah dan IHSG yang mengalami pelemahan. Ia mengungkapkan bahwa aset berisiko lainnya di negara-negara dengan pasar berkembang (emerging markets) juga merasakan dampak dari sentimen negatif tersebut. “Pelemahan ini menjadi komponen penting yang perlu diperhatikan oleh investor dan pelaku pasar,” ujarnya dalam sebuah wawancara.

Salah satu faktor kunci yang mendorong pelemahan ini adalah kebijakan kenaikan tarif yang direncanakan oleh Trump, yang akan berlaku untuk beberapa negara seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, pembicaraan antara Donald Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengenai penghentian bantuan AS untuk menghentikan serangan Rusia juga memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi pasar.

Berdasarkan analisis Ariston, diprediksikan bahwa nilai tukar rupiah dapat bergerak menuju kisaran Rp16.700 per dolar AS. Sementara itu, IHSG berpotensi tertekan menuju level support penting di angka 6.000. “Sentimen negatif dari luar masih akan terus berkembang, dan itu perlu diantisipasi oleh investor,” tambah Ariston.

Dari sisi domestik, Nafan Aji Gusta, Senior Technical Analyst dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa kurangnya katalis positif dari perekonomian dalam negeri juga menjadi penghalang bagi penguatan rupiah dan IHSG. “Saat ini, kita dalam situasi di mana minim data makroekonomi domestik yang bisa memberikan dampak signifikan terhadap pasar,” ungkap Nafan.

Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan pada triwulan IV 2024 di Amerika Serikat juga merupakan faktor yang akan mempengaruhi dinamika ini. Realisasi pertumbuhan tersebut akan menjadi acuan bagi kebijakan The Federal Reserve terkait suku bunga acuan, yang hingga kini masih menjadi sorotan para pelaku pasar. “Tahun ini masih ada peluang bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan,” jelas Nafan.

Lebih lanjut, pergerakan nilai tukar rupiah dan IHSG diperkirakan akan banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global, khususnya terkait kebijakan tarif tinggi AS terhadap Kanada dan Meksiko. Mulai tanggal 4 Maret mendatang, AS akan menerapkan tarif 25% untuk produk impor dari dua negara tersebut, yang berpotensi meningkatkan ketegangan dalam perdagangan internasional.

Berikut adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kondisi ini:

1. Kebijakan tarif tinggi yang diusulkan Trump bisa memicu hilangnya kepercayaan investor di emerging markets.
2. Dampak negatif dari hubungan bilateral antara AS dan negara-negara lain yang terlibat dalam perjanjian perdagangan.
3. Data PMI manufaktur Indonesia yang menunjukkan ekspansi serta inflasi yang lebih rendah dari target Bank Indonesia.
4. Kinerja perekonomian AS yang akan menentukan arah kebijakan suku bunga The Fed.

Dalam menghadapi situasi ini, investor diharapkan tetap waspada dan beradaptasi terhadap perubahan yang cepat di pasar. Minat terhadap aset berisiko tetap harus dipertimbangkan dengan matang, mengingat dinamika ini dapat mempengaruhi keputusan investasi secara signifikan. Dengan pemantauan dan strategi yang tepat, diharapkan para pelaku pasar dapat mengoptimalkan kesempatan di tengah tantangan yang ada.

Exit mobile version