Aktivis kemanusiaan asal Wamena, Yefta Lengka, memperingatkan bahwa pemerintah Indonesia menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap nasib pengungsi di Papua yang terus mengalami kesulitan akibat konflik berkepanjangan. Menurutnya, pengabaian ini tidak hanya memperparah kondisi para pengungsi, tetapi juga menumbuhkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia di kalangan masyarakat Papua.
Yefta menjelaskan bahwa pengungsian di Papua bukan fenomena baru. Sejak lama, dan khususnya setelah serangkaian operasi militer, banyak orang Papua yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. "Ini sebenarnya situasi yang buruk. Kondisi yang rusak. Situasi ini mengerikan. Keadaan yang hancur dan tidak normal," ungkapnya dalam keterangan yang diberikan pada 26 Januari 2025. Ia menambahkan bahwa terutama sejak transisi pemerintahan, pengungsi dari daerah seperti Nduga, Pegunungan Bintang, dan Maybrat semakin meningkat, dan pemerintah pusat terkesan tidak peduli.
Fenomena penunjukan penjabat bupati dan gubernur yang tidak memahami konteks sosial budaya setempat semakin memperburuk situasi. Yefta menilai bahwa kebijakan ini membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi kondisi Papua tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakatnya. Sebagian besar penjabat yang ditunjuk berasal dari latar belakang TNI dan Polri, hal ini menyebabkan kekhawatiran bahwa mereka lebih mengutamakan pendekatan militer daripada upaya untuk membangun perdamaian.
Terdapat beberapa poin penting yang diangkat Yefta terkait pengabaian pengungsi Papua:
Absen dari Kebijakan Perluasan Pembangunan: Pemerintah daerah tidak melihat pengungsi sebagai bagian dari subjek pembangunan. Pembangunan seharusnya melibatkan setiap individu dari masyarakat, termasuk mereka yang terkena dampak konflik.
Kondisi Kemanusiaan yang Memprihatinkan: Banyak pengungsi yang saat ini menempati tempat-tempat tidak layak dan terpaksa hidup dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Hasilnya, banyak yang menderita sakit, kelaparan, dan kekurangan akses pendidikan.
Diskriminasi dan Stigma: Yefta mempertanyakan pandangan pemerintah terhadap orang Papua, yang sering kali dianggap sebagai ancaman dan kriminal. Ia mendesak agar perlu ada pandangan baru yang memulihkan martabat mereka sebagai manusia.
Pentingnya Dialog dan Mediasi: Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, negara perlu melakukan perundingan yang damai dan demokratis dengan masyarakat Papua, difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Hal ini dinilai sebagai langkah penting untuk menjembatani ketegangan antara pemerintah dan masyarakat.
- Tanggung Jawab Pemerintah: Yefta menggarisbawahi bahwa tanggung jawab memulangkan pengungsi dan memberikan jaminan keamanan harus menjadi prioritas pemerintah. Banyak organisasi non-pemerintah (NGO) yang siap untuk berkolaborasi dalam inisiatif kemanusiaan.
Yefta juga menjelaskan bahwa situasi yang dihadapi oleh pengungsi bukan sekadar masalah lokal, tetapi merupakan tantangan yang melibatkan isu hak asasi manusia. "Mereka bukan pengungsi dari negara lain, mereka adalah korban yang berhak mendapatkan perlakuan manusiawi di tanah air mereka sendiri," tegasnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI-Polri telah menyebabkan puluhan ribu orang Papua mengungsi. Banyak dari mereka mencari perlindungan di hutan atau di daerah perkotaan, menggambarkan gambaran memilukan tentang ketidakamanan yang melanda wilayah tersebut.
Hingga saat ini, banyak pengungsi yang masih hidup dalam ketidakpastian, dan pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda serius untuk merespons kebutuhan mereka. Sikap ketidakpedulian ini, menurut Yefta, berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia, menciptakan jurang yang lebih dalam antara pemerintah dan rakyat Papua. "Mereka tidak hanya membutuhkan tempat tinggal, tetapi juga pengakuan, hak, dan perhatian dari negara," pungkasnya.