Pemerintah Indonesia kini diharapkan dapat memperkuat komitmennya dalam mendorong penggunaan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN), setelah ditetapkannya bioethanol sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Penetapan ini menunjukkan potensi besar bioethanol sebagai alternatif energi terbarukan yang ramah lingkungan. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, pemerintah perlu mengambil tindakan yang lebih serius dalam hal intervensi dan pengembangan infrastruktur terkait.
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), langkah pertama yang harus diambil pemerintah adalah melakukan intervensi dalam pengadaan bahan baku, atau feedstock. "Perlu keseriusan Pemerintah. Hal yang utama adalah Pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock," ungkap Fabby. Saat ini, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan dalam pengembangan bioethanol, dan pemerintah memegang peranan penting untuk mengatasi tantangan tersebut.
Berikut beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bioethanol di Indonesia:
Ketersediaan Bahan Baku: Tanaman yang menjadi sumber bioethanol di Indonesia masih sangat terbatas. Sumber bahan baku seperti tebu, jagung, sorgum, dan singkong belum cukup untuk mendukung produksi bioethanol secara massal, berbeda dengan kelapa sawit yang lebih mudah diolah menjadi biodiesel.
Standar Kualitas: Untuk menghasilkan ethanol yang memenuhi standar bahan bakar, dibutuhkan ethanol dengan kemurnian 99 persen. Proses ini tidaklah mudah dan tetap memerlukan intervensi pemerintah untuk menjamin kualitas dan kuantitas produk bioethanol.
- Harga yang Tidak Kompetitif: Harga ethanol di pasar internasional sering kali lebih tinggi dibandingkan minyak, mengingat ethanol juga memiliki nilai ekonomi sebagai bahan baku industri dan pangan. Hal ini membuat bioethanol kurang menarik bagi para pelaku industri jika dibandingkan dengan pilihan bahan bakar lainnya.
Seiring dengan tantangan tersebut, Fabby menekankan bahwa tidak adanya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk bioethanol, seperti yang ada pada biodiesel, memperburuk situasi. Pada biodiesel, pemerintah dapat memberikan subsidi tanpa membebani anggaran secara langsung, namun untuk bioethanol, solusi finansial ini tidak tersedia. "Kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi)," tambahnya.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), juga menyoroti pentingnya peran aktif pemerintah dalam mendukung pengembangan bioethanol. Menurutnya, pemerintah harus mampu memobilisasi BUMN dan membuka akses pembiayaan agar dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku bioethanol dengan skala yang lebih besar. Marwan menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk mengembangkan lahan perkebunan singkong atau tebu yang luas sehingga dapat memproduksi bahan baku dengan harga kompetitif.
Namun, pendekatan ini memerlukan keseriusan dan komitmen dari pemerintah. Jika produksi bioethanol mengandalkan kebun singkong atau tebu yang ada saat ini, Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produksi CPO kecuali ada langkah progresif untuk memperluas lahan pertanian. "Kita harus dapat memikirkan solusi yang komprehensif agar pengembangan bioethanol ini tidak terhambat oleh masalah ketersediaan bahan baku," ungkap Marwan.
Dengan ditetapkannya bioethanol sebagai PSN, harapan untuk menjadikan bioethanol sebagai salah satu pilar energi terbarukan di Indonesia kembali mengemuka. Namun, semua itu bergantung pada keinginan dan keseriusan pemerintah untuk melakukan intervensi yang diperlukan agar bioethanol tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga dapat direalisasikan dalam praktik. Jika tantangan-tantangan ini dapat diatasi, Indonesia berpotensi untuk menjadi salah satu produsen bioethanol terkemuka di dunia, sekaligus berkontribusi terhadap ketahanan energi dan pengurangan emisi karbon.