Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Republik Indonesia mendorong Apple untuk melakukan investasi yang signifikan di Indonesia, sebagai respons terhadap tingginya penjualan produk perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut. Sepanjang tahun 2023, penjualan produk Apple di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 50 triliun, mencakup penjualan sekitar 2,3 juta unit iPhone, iPad, dan berbagai aksesorisnya.
Sekretaris Jenderal Kemenperin, Eko Cahyanto, mengungkapkan bahwa dengan angka penjualan yang sangat besar ini, pemerintah berhak menuntut Apple untuk berinvestasi di dalam negeri agar ada nilai tambah yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia. “Kami menuntut investasinya. Kami ingin agar value added-nya bisa kita dapatkan juga,” jelas Eko dalam diskusi virtual mengenai Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2024.
Eko menekankan pentingnya investasi ini, mengingat posisi Indonesia yang kurang diunggulkan dalam rantai pasok internasional dibandingkan negara-negara seperti Thailand dan Vietnam. Ia menyatakan, “Kita mungkin sangat tidak penting untuk Apple dalam proses industrinya karena hanya satu supplier dari Indonesia. Ini yang kami tuntut agar pasar kita bisa kita betul-betul jaga.”
Sebagai langkah konkret, Kemenperin meminta Apple untuk merevisi proposal investasi mereka agar sejalan dengan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ini bertujuan agar semua barang yang dijual di Indonesia, khususnya yang terkait dengan kepentingan nasional, dapat memberikan manfaat nyata bagi ekonomi lokal. Eko menegaskan, “Kami tetap meminta Apple memperbaiki proposalnya agar kita dapat value added.”
Meskipun ada upaya dari Kemenperin, rencana investasi Apple hingga kini hanya sebesar Rp 3,4 triliun. Apple merencanakan pembangunan pabrik di Batam untuk memproduksi AirTag, salah satu aksesoris iPhone, dengan nilai awal investasi yang diusulkan sebesar USD 1 miliar atau sekitar Rp 16,2 triliun. Pabrik ini diharapkan dapat memasok sekitar 60% kebutuhan global AirTag dan mulai beroperasi pada tahun 2026 dengan perkiraan menyerap sekitar 2.000 tenaga kerja.
Namun, juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyatakan bahwa nilai investasi riil pabrik ini hanya berkisar pada USD 200 juta atau Rp 3,24 triliun. “Nilai ini tentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai investasi USD 1 miliar dalam proposal yang disampaikan Apple kepada kami,” ungkap Febri. Hal ini menimbulkan keprihatinan di kalangan pemerintah, karena perhitungan teknokratis menunjukkan bahwa proyeksi nilai ekspor dan biaya pembelian bahan baku tidak seharusnya dimasukkan sebagai modal investasi (capex).
Febri menjelaskan bahwa capex seharusnya mencakup hanya pembelian tanah, bangunan, serta mesin dan teknologi. Ia menyoroti, “Jika nilai investasi Apple sebesar USD 1 miliar itu untuk capex, seperti pembelian tanah, bangunan dan mesin/teknologi, tentu lebih baik lagi. Bayangkan jumlah tenaga kerja yang bisa terserap dengan angka investasi USD 1 miliar, tentu akan sangat besar sekali.”
Pemerintah berharap tantangan ini menjadi momentum bagi Apple untuk meningkatkan komitmen investasinya di Indonesia, sehingga tidak hanya meraih keuntungan dari pasar yang besar, tetapi juga memberikan dampak positif bagi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. Investasi yang optimal akan memberikan peluang bagi pengembangan industri domestik, serta meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Dengan potensi pasar yang besar, Indonesia berupaya agar perusahaan-perusahaan teknologi multinasional seperti Apple berperan lebih aktif dalam membangun ekosistem industri yang saling menguntungkan.