
Penangkapan mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte, oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah menyebabkan perpecahan di kalangan masyarakat Filipina. Sebagian mendukung tindakan tersebut, sementara kelompok yang lebih besar mengecamnya. Situasi ini semakin menajamkan skisma yang sudah ada sebelumnya. Tokoh-tokoh antipemerintah, termasuk di antaranya dari pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr, memberikan kritik tajam terhadap penangkapan ini.
Adnan Alonto, mantan Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi, yang kini tinggal di California, mengungkapkan bahwa penangkapan Duterte menunjukkan dua aspek penting mengenai pemerintah saat ini. Pertama, ia menilai pemerintah Bongbong Marcos tidak dapat dipercaya, setelah sebelumnya menyatakan tidak akan bekerja sama dengan ICC. Kedua, ia berpendapat bahwa tindakan ini menunjukkan upaya untuk menyingkirkan keluarga Duterte, yang sebelumnya memiliki pengaruh besar di Filipina.
Arnedo Valera, seorang pengacara hak asasi manusia internasional dan tokoh dari partai politik Hakbang ng Maisug, menilai bahwa penangkapan ini bisa menjadi kesalahan politik besar dari pemerintahan Marcos. Ia menyatakan, “Tindakan kurang ajar ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh, memecah belah pasukan militer dan polisi, serta memicu gelombang protes massa dan keresahan sosial di seluruh negeri.” Valera memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mengguncang kepercayaan investor dan mempercepat potensi perubahan rezim di Filipina.
Pendukung setia Duterte, seperti Reynaldo Aralar Jr, mengecam penangkapan ini sebagai ‘penculikan internasional’ dan menyayangkan bagaimana tindakan ini telah menarik perhatian dunia dengan cara yang negatif. “Apa yang terjadi dengan kedaulatan Filipina? Filipina bukan lagi anggota ICC, sehingga tidak ada dasar hukum untuk penangkapan ini,” ungkap Aralar. Ia juga mencatat bahwa tidak ada pejabat tinggi yang memberikan penjelasan terkait situasi ini, menciptakan ketidakpastian di kalangan masyarakat.
Dalam pandangan lain, Teresa Opaon-Ali, pendukung perempuan Duterte dari Davao, melihat penangkapan ini sebagai upaya balas dendam Bongbong Marcos terhadap keluarga Duterte. Ia mengklaim, “Ini menunjukkan pengkhianatan, tidak ada kesetiaan dan rasa terima kasih setelah Duterte membantunya menang.” Opaon-Ali menambahkan bahwa penangkapan Duterte mempermalukan ICC, yang dianggapnya tidak memiliki kewenangan dalam kasus ini.
Di luar dukungan bagi Duterte, berbagai pihak, termasuk akademisi di Indonesia, juga mengecam langkah politik pemerintah Marcos. Anak Agung Banyu Perwita, seorang pakar hubungan internasional, menyatakan bahwa penangkapan ini sangat disayangkan dan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan di Filipina. Ia menegaskan pentingnya setiap negara untuk memiliki kebijakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut keamanan nasional.
Sementara itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan tegas terhadap penjahat narkotika, mendorong agar masalah yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN diselesaikan melalui mekanisme regional, bukan oleh institusi eksternal seperti ICC. Ini sejalan dengan komitmen ASEAN terhadap kedaulatan negara dan non-intervensi, seperti yang diatur dalam Piagam ASEAN.
Situasi ini mencerminkan ketegangan politik yang masih mengakar dalam sejarah Filipina, serta tantangan bagi pemerintahan Marcos dalam mempertahankan stabilitas dan kepercayaan di antara masyarakatnya. Reaksi terhadap penangkapan Duterte menunjukkan bahwa warisan kepemimpinannya masih mempengaruhi politik dan sosial di Filipina, dan bagaimana perdebatan tentang keadilan dan kedaulatan tetap menjadi isu yang sangat relevan.