Pendiri Studio Ghibli: Jijik Lihat Tren AI yang Tirukan Animasi

Media sosial baru-baru ini dikejutkan dengan tren yang cukup kontroversial, yaitu penggunaan artificial intelligence (AI) untuk mengubah foto menjadi animasi yang meniru gaya unik Studio Ghibli. Studio ini, yang didirikan oleh Hayao Miyazaki, dikenal melahirkan karya-karya animasi ikonis seperti “Spirited Away,” “My Neighbour Totoro,” dan “Howl’s Moving Castle.” Dalam beberapa pekan terakhir, fitur ini menuai pro dan kontra, terutama di kalangan para seniman dan penggemar budaya pop.

Tren ini muncul seiring dengan peluncuran versi terbaru dari ChatGPT, yang memungkinkan pengguna untuk mengubah foto pribadi atau meme menjadi gambar animasi ala Ghibli. Namun, di balik kepopulerannya, tren ini menyoroti beberapa masalah etika yang terkait dengan penggunaan AI dalam kreativitas. Dalam banyak kasus, karya-karya yang dihasilkan AI dilatih menggunakan data dari karya-karya yang dilindungi hak cipta. Hal ini menimbulkan keprihatinan tentang dampaknya terhadap penghidupan para seniman manusia di masa depan.

Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli yang kini berusia 84 tahun, mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap tren ini. Dalam film dokumenter “Never-Ending Man: Hayao Miyazaki” yang dirilis pada tahun 2016, ia berulang kali menunjukkan kritiknya terhadap AI dalam pembuatan animasi. Ketika ditunjukkan demonstrasi animasi zombie yang dihasilkan oleh AI, Miyazaki berpandangan bahwa meski AI dapat menciptakan gerakan yang aneh, ia meragukan bagaimana AL tersebut bisa memahami rasa sakit dan ketulusan yang dialami manusia.

“Saya merasa jijik. Ini merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” tegas Miyazaki, menggambarkan ketidakpuasannya terhadap karya-karya yang tidak memiliki kedalaman emosional dan pengalaman manusia. Pernyataan ini menimbulkan diskusi yang lebih dalam mengenai nilai kreativitas manusia dalam era yang semakin didominasi oleh teknologi.

Di berbagai platform media sosial, tren mengubah foto menjadi animasi Ghibli ini telah menarik perhatian banyak kalangan, dari masyarakat umum sampai tokoh terkenal dan bahkan lembaga pemerintahan. Contohnya, Gedung Putih baru-baru ini memposting versi Ghibli dari gambar seorang wanita berusia 36 tahun yang menangis setelah ditangkap oleh ICE, yang kemudian mendapat kritik tajam dari netizen yang menyebut konten tersebut “jahat” dan “mengerikan”.

Namun, banyak pengguna sosial media di Indonesia yang juga tidak sependapat dengan tren ini dan merasa perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang proses kreatif di balik animasi Studio Ghibli. Salah satunya, sebuah akun mengingatkan bahwa banyak adegan dalam film Ghibli yang digambar dengan tangan, memakan waktu dan dedikasi yang luar biasa. Contohnya, satu adegan berdurasi empat detik membutuhkan waktu satu tahun tiga bulan untuk diselesaikan, menunjukkan betapa kompleks dan berartinya setiap karya yang dihasilkan.

Tren ini bukanlah yang pertama bagi Studio Ghibli, sebelumnya pada bulan Oktober, trailer buatan AI dari film “Princess Mononoke” juga memicu kontroversi setelah menjadi viral. Trailer tersebut menggunakan akting suara dari film aslinya namun menampilkan visual yang sama sekali berbeda, membuat para penggemar merasa tidak nyaman dengan bentuk penghormatan yang dirasa tidak sesuai.

Seiring tren ini terus berkembang, banyak orang mulai menyadari pentingnya menghargai kreativitas dan proses yang sering kali tidak terlihat oleh publik. Kritik yang dilontarkan oleh Miyazaki dan sikap skeptis terhadap AI menekankan bahwa meskipun teknologi dapat memberikan kemudahan, nilai dari karya seni sejati tidak dapat dihargai jika hanya didapat melalui algoritma. Seperti yang ditunjukkan Miyazaki, ada sesuatu yang irreplaceable dalam pengalaman dan perjuangan manusia yang tidak bisa ditiru oleh mesin.

Berita Terkait

Back to top button